Minggu, 15 April 2012

Tujuan pembangunan hutan tanaman baru

Tujuan pembangunan hutan tanaman adalah meningkatkan potensi hutan tanaman yang dibangun di dalam kawasan hutan produksi dalam rangka meningkatkan produksi hasil hutan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan. Penanaman tanaman baru ini akan diperoleh suatu luasan kawasan, tetapi tidak mengubah hutan produksi alam yang produktif menjadi hutan tanaman. Kegiatan pengusahaan hutan yang sebagian besar pada hutan produksi alam dilakukan dengan sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang diberikan kepada badan usaha swasta dan BUMN dengan penambahan kepemilikan saham oleh koperasi. HPH merupakan suatu kebijakan hukum yang dibuat pemerintah, terutama produk hukum yang dikeluarkan oleh jajaran instansi kehutanan. HPH sendiri selain bertujuan untuk menambah devisa negara juga bertujuan untuk meningkatkan masyarakat desa sekitar Wilayah hutan. Pada umumnya, kebijakan atau hukum dianggap sebagai alat yang dapat memaksa. Semakin kuat sumber daya yang mendukung berlakunya kebijakan (hukum), maka akan memudahkan hukum untuk ditaati, sebab masyarakat melihat hukum sebagai suatu kekuatan yang sangat besar, mengandung sanksi dan perintah serta larangan-larangan yang jika dilanggar menerima konsekuensi secara moral ataupun material. Hal ini membuat hukum ditafsirkan secara kelirit, kekuatan materiil dari hukum ditaati bukan oleh kesadaran akan pentingnya dan manfaat hukum tersebut, tetapi cenderung dipengaruhi kekuatan represif. Cara pandang yang berbeda antara masyarakat bawah/kecil ( petani, buruh atau nelayan) dan pengusaha HPH yang rata-rata mem ili ki sumber daya yang mampu mempengaruhi hukum, sehingga dalam proses penegakan hukum tidak berlaku efektif sepanjang tidak ada kontrol dari masyarakat. Begitu pula, pengusaha HPH dapat memanfaatkan hukum sebagai tetnpat berlindung, bahkan sebagai legitimasi usaha ilegal.

Kasus HPH umumnya sekitar legitimasi kekuatan, yakni mengusir masyarakat yang memanfaatkan sumber kehidupan di dalam hutan sebelum dikuasai HPH. Saat ini telah ada pemegang HPH sebanyak 437 tanpa diatur kebijakan dengan memberdayakan potensi masyarakat sekitar dan dalam hutan. Bahkan, saat ini pemerintah telah membatasi kepemilikan pengusahaan hutan melalui PP No. 6 tahun 1999. Tujuan pembatasan tersebut adalah untuk menjamin terlaksananya pengelolaan hutan secara lestari dan memberi peluang serta mendorong peran aktif masyarakat dalam kegiatan pengusahaan hutan.

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Jawa sebagai salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan yang nyata telah banyak mendapatkan pujian atas keberhasilannya. Program yang dijalankan oleh Perhutani ini telah dikembangkan dari hasil uji coba yang cukup lama, sejak tahun 1973 dengan INMAS Tumpangsari, Pendekatan Kesejahteraan (Prosperity approach) tahun 1974. Tahun 1982 muncul istilah Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) yang meliputi kegiatan di dalam dan di luar kawasan hutan. Untuk meningkatkan kualitas di kawasan hutan, maka dikembangkan kembali tahun 1986 dengan nama Perhutanan Sosial (PS). Program ini dikenal dengan kegiatan agrofbrestty, agrosilvikultur, silvopastureal, dan silvofishety yang dianggap cukup berhasil selama 10 tahun pada kawasan hutan darat dan mangrove. Hal ini terutama mampu meningkatkan kualitas biofisik lingkungan sekaligus adanya kontribusi pendapatan masyarakat desa hutan.

Untuk mengembangkan usaha-usaha yang dilakukan agar lebih meluas, maka tahun 1996 diuji cobakan Program PMDH Terpadu. Program ini sebagian masih berjalan lambat, terutama pada kawasan hutan di luar Jawa karena kebijakannya belum merefleksikan kemitraan yang hakiki dalam pengelolaan hutan alam secara berkelanjutan. Hanya saja, pasca reformasi telah banyak kasus penjarahan ataupun perusakan hutan yang terjadi di seluruh kawasan hutan yang ada di Jawa, tidak saja pada hutan produksi tetapi juga hutan lindung. Kejadian ini dinilai oleh beberapa para pihak bahwa Perhutani yang saat ini telah berubah status menjadi PT, di dalam pengelolaan hutan produksi nyata-nyata telah gagal. Apalagi, sejak dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah terjadi kesimpangsiuran dalam pengelolaan hutan. Sementara pemerintah pusat mempertahankan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, di pihak Pemerintah Daerah berpegang pada UU No. 22 tahun 1999 yang dianggap demokratis, terbuka, dan berkeadilan sesuai aspirasi masyarakat daerah. Akhimya, timbul tumpang tindih perizinan pengelolaan hutan, terutama di luar Jawa akibat pemikiran segi keuntungan sektor hutan tersebut. Sedangkan di Jawa, dengan parahnya kerusakan hutan akibat perusakan massal oleh masyarakat yang tidak bertanggung jawab, telah disepakati oleh pihak-pihak pengelola hutan bahwa pengelolaan hutan harus didasarkan keadilan yang demokratis melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). HPH pada kenyataannya dapat dikatakan gagal dalam hal memberdayakan perekonomian masyarakat desa wilayah hutan. Banyak kalangan menilai bahwa gagalnya program ini disebabkan cara pendekatannnya yang kurang tepat, yakni pendekatan sentral dan top down. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh petugas lebih banyak belum mengusai sosial budaya masyarakat setempat, bahkan secara teknis kurang menguasai cara-cara pembudidayaan usaha tani dan pemasaran hasil. Banyak kalangan di luar stake holder yang menginginkan pengelolaan kawasan hutan di luar Jawa sama dengan pengelolaan di kawasan hutan Jawa. Karena itu, saat ini telah dicoba dikembangkan Perum Perhutani Wilayah sebagian Kalimantan meskipun pada akhirnya gagal.

Kebijakan pengelolaan dalam rangka peningkatan produktivitas hutan alam telah dikembangkan beberapa silvikultur terapan yang merupakan pengembangan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJPI), dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dengan dukungan pengadaan bibit unggul, stek pucuk, kultur jaringan, dan teknologi pemuliaan lainnya. Kesemuanya ini diharapkan mampu mendukung terwujudnya era industri yang kuat dengan dukungan bahan baku tangguh dari hasil-hasil tersebut. Mengingat laju kerusakan hutan alam yang terus berjalan dan diperkirakan oleh FAO bahwa hutan alam Indonesia setiap tahunnya mengalami kerusakan 1,3 juta hektar per tahun, maka Indonesia kemungkinan pada tahun 2015 sudah tidak mampu lagi memasok kebutuhan bahan baku industri kehutanan. Sedangkan permintaan hasil industri kehutanan terus meningkat, maka sebagai peningkatan potensi dan kualitas hutan produksi guna pemenuhan kebutuhan bahan baku industri dikembangkan bentuk pengusahaan hutan yang disebut Pengusahaanhutan Tanaman Industri (HTI). Tujuan HTI sendiri antara lain: menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah dan devisa, meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas Iingkungan hidup, memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Untuk itu. PP No.7 tahun 1990 mengeluarkan HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri). Berbagai penelitian dan uji coba telah diterapkan agar diperoleh suatu hasil yang berkualitas, terutama dari bibit-bibit hasil pemuliaan. Pengelolaan hutan dengan model-model silvikultur telah diterapkan untuk mencapai hasil produksi secara ekonomi tanpa meninggalkan prinsip ekologis atau kelestarian, yang ditunjukkan dengan adanya aturan AMDAL

Dengan berjalannya HTI, hanyak pihak yang pro dan kontra dan sebagian besar menganggap bahwa HTI memunculkan suatu dampak yang cukup serius bagi bidang kehutanan. Sebab, HTI urntunnya dikelola dengan satu jenis tanaman, yang riskan terhadap serangan Hama dan penyakit. Sedangkan HTI juga tidak mengusahakan suatu tanaman tingkat bawah, sehingga erosi justru akan timbul yang dapat menghilangkan lapisan tanah atas yang banyak mengandung bahan organik tinggi. Sebenarnya, HTI dikembangkan secara khusus pada kawasan lahan kosong, padang alang-alang, semak belukar, dan lahan-lahan kritis atau non-produktif. Kegiatan ini ternyata terjadi di luar kontrol pemerintah sendiri karena berpegang pada UU No. 5/1967 tentang, Ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK) yang berbunyi: “Di antara hutan lindung ada yang karena keadaan alamnya dalam batas-batas tertentu sedikit banyak masih dapat dipungut hasilnya dengan tidak mengurangi fungsinya sebagai hutan lindung.” Dengan demikian, banyak hutan lindung yang dibabat habis oleh pemegang HPH sebagai bahan baku pulp dan serat rayon.

Meskipun masih menjadi bahan perbincangan terhadap dampak yang ditimbulkannya, ternyata ada sisi positifnya, antara lain sebagai berikut:

1. menunjang kesinambungan produksi untuk pemenuhan bahan baku industri dan kebutuhan masyarakat serta ekspor jangka panjang;

2. meningkatkan luasan kawasan hutan yang produktifdan mutu lingkungan;

3. menunjang kelestrian jenis-jenis pohon andalan setempat;

4. memperluas kesempatan kerja dan lapangan usaha bagi masyarakat.

Kenyataan ini terlihat dari usaha perhutanan rakyat seperti persuteraan alam dan lebah madu, meskipun hal ini belum cukup memberikan keuntungan nyata, tetapi paling tidak menjadi suatu prestisius bagi negara Permasalahan prestisius tersebut kemungkinan berlaku juga pada uji coba Potting, yaitu lubang yang dibuat pada lahan yang bercadas keras sebagai tempat penanaman pohon jenis jati. Sedangkan untuk memacu pertumbuhan awalnya, lubang tersebut dilakukan pemberian kompos dan pemupukan pada tahun kedua. Hasil ini pada tahun-tahun selanjutnya diharapkan agar pohon sudah mampu mencari nutrisi sendiri tanpa hams di lakukannya pemupukan kembali. Dari uji coba ini, ternyata pada umur 15 tahun pohon sudah terlihat mengalami pertumbuhan normal.

Perkiraan sementara oleh pengamat, pertumbuhan pohon jati normal ini disebabkan masih tersedianya bahan kompos dan pupuk yang telah diberikan. Padahal secara normal, bila jati ditanam pada lahan yang cocok akan diperoleh pertumbuhan lipat dua, namun cara ini dianggap baik karena mampu memanfaatkan lahan kosong yang berat. Dilihat dari keuntungannya, penanaman pohon jati ini menjadi salah satu usaha penambahan luas kawasan areal kehutanan karena mampu memungsikan lahan keras untuk menjadi lahan hutan

0 komentar:

Posting Komentar