Bagaimana mencegah penularan hiv dari ibu ke bayi ?
Bayi yang sudah mengidap HIV dalam tahun pertama bisa menjadi ADIS dalam kurang dari satu tahun, 50% nya dapat mencapai usia 10 tahun tanpa obat antiretrovirus (ARV), yaitu obat untuk menekan jumlah HIV. Jika kondisi lingkungan kurang baik, 80% anak meninggal pada usia dua tahun. Untungnya, hal ini dapat dicegah. Mulai darimana?
1. Skrining HIV
Sebagian besar ibu menularkan HIV pada buah hatinya saat persalinan (60%), menyusui (30%), ataupun dalam kandungan (10%). Skrining merupakan langkah awal keberhasilan mencegah penularan infeksi HIV ibu ke janin atau bayi. Bila hasil skrining positif, pencegahan dilanjutkan dengan konseling tentang gaya hidup sehat termasuk pola hubungan intim dengan pelindung, pengobatan, dan asuhan saat kehamilan serta setelah persalinan. Saat ini ada metode skrining cukup dengan mengoleskan saliva (cairan ludah) lewat tes yang disebut rapid test. Namun hasilnya tetap harus dikonsultasikan dan dipastikan kembali dengan uji yang lebih akurat.
a). Beberapa uji untuk HIV/AIDS
ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay). Tes ini biasanya yang paling pertama dilakukan untuk mendeteksi infeksi HIV. Jika terdapat antibodi terhadap HIV, tes ini biasanya diulang untuk memastikan diagnosis. Jika ELISA negatif, tes lain biasanya tidak diperlukan.
Western Blot. Tes ini lebih sulit dibanding ELISA, tetapi perlu dilakukan untuk memastikan hasil dari tes ELISA
b). Polymerase chain reaction (PCR).
Tes ini untuk menilai apakah ada RNA atau DNA virus pada sel darah putih yang terinfeksi HIV. Tes ini tidak sesering ELISA atau Western Blot karena lebih mahal dan membutuhkan keterampilan teknis. Keunggulannya, tes ini bisadilakukan beberapa hari atau minggu setelah tubuh tertular virus. Sehingga berguna untuk menguji apakah terjadi infeksi HIV bahkan sebelum antibodi tubuh yang melawan HIV terbentuk.
c). Indirect fluorescent antibody (IFA).
Tes ini berguna untuk mendeteksi antibodi HIV. Seperti halnya tes Western blot, IFA digunakan untuk memastikan hasil ELISA, tetapi lebih mahal dan jarang digunakan.
2. Pengobatan HIV dengan ARV
Pengobatan dengan obat antiretroviral (ARV) idealnya dilakukan setelah ada pemeriksaan-pemeriksaan agar dapat diketahui dosis yang tepat. Namun, pemeriksaan ini cukup mahal harganya, dan protokol pengobatan yang ada memungkinkan pengobatan tanpa pemeriksaan terlebih dahulu.
Untuk ibu hamil, pengobatan dimulai sejak kehamilan 28 minggu hingga setelah persalinan. Karena efek sampingnya, sebelum pemberian ARV, ibu akan dianjurkan memeriksakan fungsi hati, dan kemungkinan kekurangan darah (anemia). Salah satu alasannya adalah AZT (zidovudin), sejenis ARV utama, mengubah bentuk sel darah merah. Efek samping lain yaitu gatal dan mual berlebihan jika mengonsumsi jenis ARV lain yaitu nevirapin (NVP).
3. Pemeriksaan skehamilan dan persalinan
Langkah lain pencegahan HIV pada bayi setelah skrining dan pengobatan adalah pemeriksaan kehamilan dan persalinan yang sama dengan kehamilan normal lainnya. Hanya, karena beberapa kondisi, ibu hamil positif HIV memerlukan asuhan terutama untuk untuk mencegah peradangan. Ini karena jaringan plasentanya lebih rentan, apalagi bila terjadi infeksi dalam tubuh seperti radang gusi (periodontitis), radang mulut rahim (servisitis), radang vagina (vaginitis), ataupun infeksi saluran kemih.
Karena daya tahan ibu HIV mudah turun, perlu pula dilakukan pemeriksaan terhadap infeksi seperti TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes) yang jika perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan molekular bila hasilnya meragukan. Persalinan ibu hamil positif HIV sebaiknya lewat seksio-sesaria karena penelitian menunjukkan virus masih tetap terdeteksi di mulut rahim dan vagina meskipun ibu telah minum ARV.
0 komentar:
Posting Komentar