Portofolio kredit di sektor komersial
Beberapa periode setelah krisis ekonomi dan moneter yang menerpa negara kita pada tahun 1997, terjadi penurunan portofolio kredit di hampir seluruh bank. Penurunan tersebut merupakan dampak dari pengalihan portofolio kredit-kredit yang bermasalah yang ada di perbankan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Berdasarkan data perkreditan, hingga bulan Juni 2004, total kredit yang disalurkan perbankan masih sedikit lebih rendah dibandingkan dengan posisi Desember 1998 (Rp. 487,43 Triliun pada bulan Desember 1998 menjadi Rp. 486,07 Triliun pada bulan Juni 2004). Artinya adalah, laju pertumbuhan kredit sangat lambat. Perbankan nasional membutuhkan waktu yang relatif sangat lama, hampir 5,5 tahun untuk mengembalikan portofolio kredit kepada posisi semula.
Pola atau kecenderungan pertumbuhan portofolio kredit di sektor komersial – yaitu kredit yang disalurkan untuk pembiayaan sektor-sektor produktif, secara umum memiliki kemiripan dengan pola pertumbuhan total kredit perbankan sementara itu kredit sektor konsumsi mengalami pola yang berbeda karena terjadi pertumbuhan yang sangat signifikan. Pada Juni 2004, kredit konsumsi mengalami pertumbuhan 285,52% dibandingkan posisi Desember 1998 dan 408,26% dibandingkan posisi Desember 1999. Fakta ini sangat jelas menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi sejak krisis hingga kini lebih banyak digerakkan oleh sektor konsumsi yang bersifat fatamorgana, belum digerakkan oleh sektor investasi atau sektor produktif komersial. Mengapa saya katakan fatamorgana ? Kita sangat mungkin keliru melihat pertumbuhan ekonomi kita karena seolah-olah terjadi kenaikan konsumsi. Padahal sesungguhnya, kenaikan konsumsi ini bukan sebagai akibat terjadinya kenaikan pendapatan. Kenaikan konsumsi hanyalah sebagai akibat dari kenaikan konsumsi akibat pembiayaan perbankan untuk konsumsi tersebut, bukan sebagai akibat kenaikan kemampuan masyarakat untuk membiayai konsumsinya karena pendapatannya yang meningkat. Keadaan ini menjadi bersifat sangat semu dan sangat labil (artifisial) karena ketika konsumsi menurun akibat keterbatasan daya beli atau faktor lain, pertumbuhan ekonomi akan menjadi melemah pula.
Kredit konsumsi tampak sangat bergairah. Namun demikian, ekspansi kredit yang terlalu cepat di sektor kredit konsumsi sangat tidak sehat bagi makro ekonomi pada umumnya dan bagi perbankan pada khususnya. Pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh sektor kredit konsumsi pada titik tertentu akan mengalami stagnasi. Stagnasi tersebut akan terjadi apabila daya beli masyarakat merosot. Mengapa merosot? Sebagai akibat dari belum adanya kenaikan di sisi pendapatan, maka kemampuan membayar (repayment capacity) debitor hanya berdasarkan kemampuan debitor saat ini. Dengan demikian, dengan adanya kredit konsumsi, telah terjadi penurunan untuk pembiayaan konsumsi riil dari debitor, artinya adalah bahwa kemampuan debitor untuk menopang biaya hidup menjadi semakin menurun. Di samping itu, pertumbuhan ekonomi karena dukungan sektor kredit konsumsi memiliki dampak pengganda (multiplier effect) yang relatif terbatas. Harus diakui bahwa gejala ini merupakan gejala yang kurang sehat. Dengan mempertimbangkan keadaan tersebut, seharusnya perbankan melakukan ekspansi di sektor kredit investasi atau kredit modal kerja agar berdampak langsung terhadap peningkatan skala ekonomi dan skala bisnis. Pemberian kredit investasi dan kredit modal kerja menjadi hal yang lebih utama untuk didorong sesegera mungkin sedemikian rupa sehingga mampu menggerakkan mesin pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan.
Pasca krisis, dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun perbankan relatif tumbuh dengan persentase yang menurun. Persentase penurunan ini sesungguhnya sudah mulai sejak tahun 2000. Untuk posisi Juni 2004, DPK perbankan nasional hanya tumbuh sebesar 1,41%. Berbeda dengan pola pertumbuhan kredit yang disalurkan perbankan di mana pada posisi Juni 2004 belum dapat melampaui posisi Desember 1998, pertumbuhan DPK mengalami hal yang berbeda dan masih jauh lebih baik karena terjadi pertumbuhan yang positip sebesar 59,55% pada posisi Juni 2004 dibandingkan dengan posisi Desember 1998. Terdapat beberapa hal yang mengakibatkan lambatnya laju pertumbuhan DPK, antara lain:
• Tingkat suku bunga yang relatif tidak menarik sehingga nasabah lebih memilih melakukan investasi di instrumen investasi finansial seperti reksadana, saham dan lain-lain yang menghasilkan tingkat yield yang lebih besar.
• Kemampuan menabung masyarakat semakin menurun sebagai dampak dari biaya konsumsi yang semakin besar
• Kemampuan menabung masyarakat semakin menurun sebagai dampak dari penggunaan portofolio kredit konsumsi yang semakin besar sehingga kelebihan pendapatan dipergunakan untuk angsuran kredit. Hal ini dapat dibuktikan korelasinya dengan laju pertumbuhan kredit konsumsi yang sangat pesat beberapa tahun belakangan ini.
0 komentar:
Posting Komentar