Dalam kebiasaan masyarakat kita (Budaya Timur), membicarakan harta peninggalan di kala si pemilik harta masih hidup adalah sesuatu yang tidak etis. Ada pula yang berpikiran warisan identik dengan kematian. Memang benar warisan itu muncul karena adanya kematian si pewaris. Namun, bukan berarti hal itu tabu/tidak etis untuk dibicarakan di kala si pewaris masih hidup. Masyarakat kita cenderung menerima konsep warisan apa adanya yang memang sudah menjadi kebiasaan pendahulu-pendahulu kita. Kita tidak pernah berfikir untuk merencanakan harta peninggalan yang akan jatuh kepada ahli waris kita.
Dahulu, jarang sekali seorang kepala keluarga membuat suatu perencanaan keuangan. Hal ini dikarenakan tingkat kompleksitas kehidupan sangat berbeda dengan saat ini. Permasalahan yang dihadapi di daerah pedesaan tidaklah sekompleks di daerah perkotaan. Banyak kasus permasalahan hidup berkeluarga yang mulai bermunculan, baik itu kasus perceraian, warisan, perjanjian kawin, pengelolaan harta peninggalan yang jumlahnya terus meningkat tiap tahunnya. Ini menunjukkan bahwa terdapat suatu transformasi perilaku dari masyarakat kita, yang mulai berani membuka masalah dalam keluarganya ke publik.
Penting tidaknya suatu perencanaan warisan tentunya kembali lagi kepada si pewaris sendiri. Si pewaris lah yang mengetahui kondisi keluarganya. Apakah ahli warisnya cukup cakap menerima dan mengelola harta peninggalannya? Ataukah si pewaris merasa para ahli warisnya tidak akan bisa mengelola harta peninggalan dan dikhawatirkan akan habis dalam waktu singkat. Namun, hendaknya perencanaan warisan mulai dipikirkan dan direncanakan bagi setiap keluarga (khususnya calon pewaris dengan aset yang sangat besar dan berpotensi menimbulkan masalah bagi ahli warisnya).
Sebagai langkah antisipatif terhadap kejadian-kejadian yang serba tidak pasti, hal-hal yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan dalam estate planning adalah warisan. Dengan demikian sudah saatnya bagi kita, masyarakat timur, untuk tidak terbelenggu oleh pemikiran-pemikiran timur yang kadangkala membatasi ruang gerak kita. Membicarakan dan merencanakan warisan bukanlah suatu pelanggaran dan tidak melanggar etika. Sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak melanggar kesusilaan, sah-sah saja seseorang membicarakan dan merencanakan sebuah warisan.
Lalu, bagaimana sebuah warisan dapat direncanakan? Dalam hal ini, tentunya dalam konteks perencanaan keuangan, sebaiknya mengetahui dan memahami aturan-aturan dan prosedur yang berkaitan dengan masalah warisan sebelum Anda membuat suatu perencanaan warisan (estate planning). Untuk itu, pada bagian estate planning ini akan dijelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan perencanaan warisan.
Warisan didefinisikan sebagai perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang beserta akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan (vermogen). Dari definisi tersebut memunculkan suatu pandangan bahwa warisan adalah perolehan hak milik atas suatu kekayaan.
Pandangan yang demikian sebenarnya terlalu sempit dan menimbulkan salah pengertian karena perpindahan berdasarkan pewarisan tidak hanya hak milik atas kekayaaan, tetapi hak-hak erfpacht, dan hak tagihan. Di samping itu, tidak hanya hak-hak dalam lapangan hukum kekayaan saja, tetapi juga hak-hak tertentu yang berasal dari hubungan hukum kekeluargaan, dan juga turut beralih semua kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan.
Dalam harta warisan, hukum adat dan hukum Islam mempunyai pandangan yang berbeda dengan hukum perdata, yakni mengenai utang-utang dari orang yang meninggalkan warisan. Dalam hukum adat dan hukum Islam, harta peninggalan beralih dari pewaris kepada ahli warisnya dalam keadaan bersih, setelah dikurangi utang-utang dari pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang disebabkan oleh meninggalnya pewaris.
Dengan demkian, akan lebih tepat apabila definisi warisan adalah “Kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva pewaris yang berpindah kepada para ahli waris”. Kompleks aktiva dan pasiva yang menjadi milik bersama beberapa orang ahli waris disebut boedel.
Suatu perpindahan aktiva dan pasiva tersebut dapat dikatakan sebagai warisan apabila memenuhi 3 syarat utama, yaitu
1. harus ada orang yang meninggal dunia,
2. harus ada harta yang ditinggalkan, dan
3. harus ada ahli waris.
0 komentar:
Posting Komentar