Rabu, 14 Maret 2012

Asuhan Keperawatan Uretrolithiasis (Batu Ginjal)

Askep Uretrolithiasis (BatuGinjal)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN dengan BATU GINJAL

KONSEP MEDIS

Pengertian

Batu ginjal merupakan batu saluran kemih (urolithiasis), sudah dikenal sejak zaman Babilonia dan Mesir kuno dengan diketemukannya batu pada kandung kemih mummi. Batu saluran kemih dapat diketemukan sepanjang saluran kemih mulai dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, buli-buli dan uretra.
Batu ini mungkin terbentuk di di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah atau memang terbentuk di saluran kemih bagian bawah karena adanya stasis urine seperti pada batu buli-buli karena hiperplasia prostat atau batu uretra yang terbentu di dalam divertikel uretra.
Batu ginjal adalah batu yang terbentuk di tubuli ginjal kemudian berada di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal dan merupakan batu slauran kemih yang paling sering terjadi (Purnomo, 2000, hal. 68-69).

Insiden dan Etiologi

Penyakit batu saluran kemih menyebar di seluruh dunia dengan perbedaan di negara berkembang banyak ditemukan batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai batu saluran kemih bagian atas (gunjal dan ureter), perbedaan ini dipengaruhi status gizi dan mobilitas aktivitas sehari-hari.
Angka prevalensi rata-rata di seluruh dunia adalah 1-12 % penduduk menderita batu saluran kemih. Penyebab terbentuknya batu saluran kemih diduga berhubungan dengan gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik)
Secara epidemiologis, terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih yang dibedakan sebagai faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
  1. Faktor Intrinsik, meliputi:
    1. Herediter; diduga dapat diturunkan dari generasi ke generasi.
    2. Umur; paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun
    3. Jenis kelamin; jumlah pasien pria 3 kali lebih banyak dibanding pasien wanita.
  2. Faktor Ekstrinsik, meliputi:
    1. Geografi; pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu)
    2. Iklim dan temperatur
    3. Asupan air; kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
    4. Diet; diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya batu saluran kemih.
    5. Pekerjaan; penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktivitas fisik (sedentary life).

Teori Terbentuknya Batu Saluran Kemih

Beberapa teori terbentuknya batu saluran kemih adalah:
  1. Teori Nukleasi: Batu terbentuk di dalam urine karena adanya inti batu atau sabuk batu (nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan kelewat jenuh akan mengendap di dalam nukleus itu sehingga akhirnya membentuk batu. Inti, batu dapat berupa kristal atau benda asing saluran kemih.
  2. Teori Matriks: Matriks organik terdiri atas serum/protein urine (albumin, globulin dan mukoprotein) sebagai kerangka tempat mengendapnya kristal-kristal batu.
  3. Penghambat Kristalisasi: Urine orang normal mengandung zat penghambat pembentuk kristal yakni magnesium, sitrat, pirofosfat, mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat ini berkurang akan memudahkan terbentuknya batu dalam saluran kemih.

Komposisi Batu

Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur: kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP), xanthyn dan sistin. Pengetahuan tentang komposisi batu yang ditemukan penting dalam usaha pencegahan kemungkinan timbulnya batu residif.
Batu Kalsium
Batu kalsium (kalsium oksalat dan atau kalsium fosfat) paling banyak ditemukan yaitu sekitar 75 - 80% dari seluh batu saluran kemih. Faktor tejadinya batu kalsium adalah:
  1. Hiperkalsiuria: Kadar kalsium urine lebih dari 250 - 300 mg/24 jam, dapat terjadi karena peningkatan absorbsi kalsium pada usus (hiperkalsiuria absorbtif), gangguan kemampuan reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal (hiperkalsiuria renal) dan adanya peningkatan resorbsi tulang (hiperkalsiuria resoptif) seperti pada hiperparatiroidisme primer atau tumor paratiroid.
  2. Hiperoksaluria: Ekskresi oksalat urine melebihi 45 gram/24 jam, banyak dijumpai pada pasien pasca pembedahan usus dan kadar konsumsi makanan kaya oksalat seperti teh, kopi instan, soft drink, kakao, arbei, jeruk sitrun dan sayuran hijau terutama bayam.
  3. Hiperurikosuria: Kadar asam urat urine melebihi 850 mg/24 jam. Asam urat dalam urine dapat bertindak sebagai inti batu yang mempermudah terbentuknya batu kalsium oksalat. Asam urat dalam urine dapat bersumber dari konsumsi makanan kaya purin atau berasal dari metabolisme endogen.
  4. Hipositraturia: Dalam urine, sitrat bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium sitrat sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan oksalat atau fosfat. Keadaan hipositraturia dapat terjadi pada penyakit asidosis tubuli ginjal, sindrom mal-absorbsi atau pemakaian diuretik golongan thiazide dalam jangka waktu lama.
  5. Hipomagnesiuria: Seperti halnya dengan sitrat, magnesium bertindak sebagai penghambat timbulnya batu kalsium karena dalam urine magnesium akan bereaksi dengan oksalat menjadi magnesium oksalat sehingga mencegah ikatan dengan kalsium dengan oksalat.
Batu Struvit
Batu struvit disebut juga sebagai batu infeksi karena terbentuknya batu ini dipicu oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi ini adalah golongan pemecah urea (Uera splitter seperti: Proteus spp., Klebsiella, Serratia, Enterobakter, Pseudomonas dan Stafilokokus) yang dapat menghasilkan enzim urease dan mengubah urine menjadi basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak. Suasana basa ini memudahkan garam-garam magnesium, amonium, fosfat dan karbonat membentuk batu magnesium amonium fosfat (MAP) dan karbonat apatit.
Batu Urat
Batu asam urat meliputi 5 - 10% dari seluruh batu saluran kemih, banyak dialami oleh penderita gout, penyakit mieloproliferatif, pasein dengan obat sitostatika dan urikosurik (sulfinpirazone, thiazide dan salisilat). Kegemukan, alkoholik dan diet tinggi protein mempunyai peluang besar untuk mengalami penyakit ini. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya batu asam urat adalah: urine terlalu asam (pH < 6, volume urine < 2 liter/hari atau dehidrasi dan hiperurikosuria.

Patofisiologi

Batu saluran kemih dapat menimbulkan penyulit berupa obstruksi dan infeksi saluran kemih. Manifestasi obstruksi pada saluran kemih bagian bawah adalah retensi urine atau keluhan miksi yang lain sedangkan pada batu saluran kemih bagian atas dapat menyebabkan hidroureter atau hidronefrosis. Batu yang dibiarkan di dalam saluran kemih dapat menimbulkan infeksi, abses ginjal, pielonefrosis, urosepsis dan kerusakan ginjal permanen (gagal ginjal)

Gambaran Klinik dan Diagnosis

Keluhan yang disampaikan pasien tergantung pada letak batu, besar batu dan penyulit yang telah terjadi. Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan nyeri ketuk di daerah kosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi yang sakit akibat hidronefrosis, ditemukan tanda-tanda gagal ginjal, retensi urine dan jika disertai infeksi, didaptkan demam/menggigil.
Pemeriksaan sedimen urine menunjukan adanya lekosit, hematuria dan dijumpai kristal-kristal pembentuk batu. Pemeriksaan kultur urine mungkin menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.
Pemeriksaan faal ginjal bertujuan mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersipkan pasien menjalani pemeriksaan foto IVP. Perlu juga diperiksa kadar elektrolit yang diduga sebagai penyebab timbulnya batu saluran kemih (kadar kalsium, oksalat, fosfat maupun urat dalam darah dan urine).
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan melihat kemungkinan adanya batu radio-opak dan paling sering dijumpai di antara jenis batu lain. Batu asam urat bersifat non opak (radio-lusen).
Pemeriksaan pieolografi intra vena (IVP) bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu IVP dapat mendeteksi adanya batu semi opak atau batu non opak yang tidak tampak pada foto polos abdomen.
Ultrasongrafi dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan IVP seperti pada keadaan alergi zat kontras, faal ginjal menurun dan pada pregnansi. Pemeriksaan ini dapat menilai adanya batu di ginjal atau buli-buli (tampak sebagai echoic shaddow), hidronefrosis, pionefrosis atau pengkerutan ginjal.

Penatalaksanaan

Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih harus segera dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk melakukan tindakan pada batu saluran kemih adalah telah terjadinya obstruksi, infeksi atau indikasi sosial. Batu dapat dikeluarkan melalui prosedur medikamentosa, dipecahkan dengan ESWL, melalui tindakan endo-urologi, bedah laparoskopi atau pembedahan terbuka.

Pencegahan

Setelah batu dikelurkan, tindak lanjut yang tidak kalah pentingnya adalah upaya mencegah timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7%/tahun atau kambuh >50% dalam 10 tahun.
Prinsip pencegahan didasarkan pada kandungan unsur penyusun batu yang telah diangkat. Secara umum, tindakan pencegahan yang perlu dilakukan adalah:
  1. Menghindari dehidrasi dengan minum cukup, upayakan produksi urine 2 - 3 liter per hari
  2. Diet rendah zat/komponen pembentuk batu
  3. Aktivitas harian yang cukup
  4. Medikamentosa
Beberapa diet yang dianjurkan untuk untuk mengurangi kekambuhan adalah:
  1. Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam.
  2. Rendah oksalat
  3. Rendah garam karena natriuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuria
  4. Rendah purin
  5. Rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada hiperkalsiuria absorbtif type II

FOKUS PENGKAJIAN KEPERAWATAN BATU GINJAL

Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik:

Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah:
  1. Aktivitas/istirahat:
    1. Gejala:
      1. Riwayat pekerjaan monoton, aktivitas fisik rendah, lebih banyak duduk
      2. Riwayat bekerja pada lingkungan bersuhu tinggi
      3. Keterbatasan mobilitas fisik akibat penyakit sistemik lainnya (cedera serebrovaskuler, tirah baring lama)
  2. Sirkulasi
    1. Tanda:
      1. Peningkatan TD, HR (nyeri, ansietas, gagal ginjal)
      2. Kulit hangat dan kemerahan atau pucat
  3. Eliminasi
    1. Gejala:
      1. Riwayat ISK kronis, obstruksi sebelumnya
      2. Penurunan volume urine
      3. Rasa terbakar, dorongan berkemih
      4. Diare
    2. Tanda:
      1. Oliguria, hematuria, piouria
      2. Perubahan pola berkemih
  4. Makanan dan cairan:
    1. Gejala:
      1. Mual/muntah, nyeri tekan abdomen
      2. Riwayat diet tinggi purin, kalsium oksalat dan atau fosfat
      3. Hidrasi yang tidak adekuat, tidak minum air dengan cukup
    2. Tanda:
      1. Distensi abdomen, penurunan/tidak ada bising usus
      2. Muntah
  5. Nyeri dan kenyamanan:
    1. Gejala:
      1. Nyeri hebat pada fase akut (nyeri kolik), lokasi nyeri tergantung lokasi batu (batu ginjal menimbulkan nyeri dangkal konstan)
    2. Tanda:
      1. Perilaku berhati-hati, perilaku distraksi
      2. Nyeri tekan pada area ginjal yang sakit
  6. Keamanan:
    1. Gejala:
      1. Penggunaan alkohol
      2. Demam/menggigil
  7. Penyuluhan/pembelajaran:
    1. Gejala:
      1. Riwayat batu saluran kemih dalam keluarga, penyakit ginjal, hipertensi, gout, ISK kronis
      2. Riwayat penyakit usus halus, bedah abdomen sebelumnya, hiperparatiroidisme
      3. Penggunaan antibiotika, antihipertensi, natrium bikarbonat, alopurinul, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium atau vitamin.

Tes Diagnostik

Lihat konsep medis.

DIAGNOSA KEPERAWATAN BATU GINJAL

  1. Nyeri (akut) berhubungan dengan peningkatan frekuensi kontraksi ureteral, taruma jaringan, edema dan iskemia seluler.
  2. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal dan ureter, obstruksi mekanik dan peradangan.
  3. Kekurangan volume cairan (resiko tinggi) berhubungan dengan mual/muntah (iritasi saraf abdominal dan pelvis ginjal atau kolik ureter, diuresis pasca obstruksi.
  4. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi berhubungan dengan kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.

INTERVENSI KEPERAWATAN

  1. Nyeri (akut) berhubungan dengan peningkatan frekuensi kontraksi ureteral, taruma jaringan, edema dan iskemia seluler.
    1. Intervensi:
      1. Catat lokasi, lamanya/intensitas nyeri (skala 1-10) dan penyebarannya. Perhatiakn tanda non verbal seperti: peningkatan TD dan DN, gelisah, meringis, merintih, menggelepar
        Rasional: Membantu evaluasi tempat obstruksi dan kemajuan gerakan batu. Nyeri panggul sering menyebar ke punggung, lipat paha, genitalia sehubungan dengan proksimitas pleksus saraf dan pembuluh darah yang menyuplai area lain. Nyeri tiba-tiba dan hebat dapat menimbulkan gelisah, takut/cemas
      2. Jelaskan penyebab nyeri dan pentingnya melaporkan kepada staf perawatan setiap perubahan karakteristik nyeri yang terjadi
        Rasional: Melaporkan nyeri secara dini memberikan kesempatan pemberian analgesi pada waktu yang tepat dan membantu meningkatkan kemampuan koping klien dalam menurunkan ansietas.
      3. Jelaskan penyebab nyeri dan pentingnya melaporkan kepada staf perawatan setiap perubahan karakteristik nyeri yang terjadi
        Rasional: Meningkatkan relaksasi dan menurunkan ketegangan otot.
      4. Bantu/dorong pernapasan dalam, bimbingan imajinasi dan aktivitas terapeutik
        Rasional: Mengalihkan perhatian dan membantu relaksasi otot
      5. Bantu/dorong peningkatan aktivitas (ambulasi aktif) sesuai indikasi disertai asupan cairan sedikitnya 3-4 liter perhari dalam batas toleransi jantung.
        Rasional: Aktivitas fisik dan hidrasi yang adekuat meningkatkan lewatnya batu, mencegah stasis urine dan mencegah pembentukan batu selanjutnya
      6. Perhatikan peningkatan/menetapnya keluhan nyeri abdomen
        Rasional: Obstruksi lengkap ureter dapat menyebabkan perforasi dan ekstravasasiurine ke dalam area perrenal, hal ini merupakan kedaruratan bedah akut
      7. Kolaborasi pemberian obat sesuai program terapi:
        1. Analgetik
        2. Antispasmodik
        3. Kortikosteroid

        Rasional:
        1. Analgetik (gol. narkotik) biasanya diberikan selama episode akut untuk menurunkan kolik ureter dan meningkatkan relaksasi otot/mental
        2. Menurunkan refleks spasme, dapat menurunkan kolik dan nyeri.
        3. Mungkin digunakan untuk menurunkan edema jaringan untuk membantu gerakan batu
      8. Pertahankan patensi kateter urine bila diperlukan
        Rasional: Mencegah stasis/retensi urine, menurunkan risiko peningkatan tekanan ginjal dan infeksi
  2. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal dan ureter, obstruksi mekanik dan peradangan.
    1. Intervensi:
      1. Awasi asupan dan haluaran, karakteristik urine, catat adanya keluaran batu.
        Rasional: Memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi. Penemuan batu memungkinkan identifikasi tipe batu dan mempengaruhi pilihan terapi
      2. Tentukan pola berkemih normal klien dan perhatikan variasi yang terjadi
        Rasional: Batu saluran kemih dapat menyebabkan peningkatan eksitabilitas saraf sehingga menimbulkan sensasi kebutuhan berkemih segera. Biasanya frekuensi dan urgensi meningkat bila batu mendekati pertemuan uretrovesikal.
      3. Dorong peningkatan asupan cairan
        Rasional: Peningkatan hidrasi dapat membilas bakteri, darah, debris dan membantu lewatnya batu
      4. Observasi perubahan status mental, perilaku atau tingkat kesadaran
        Rasional: Akumulasi sisa uremik dan ketidak seimbangan elektrolit dapat menjadi toksik pada SSP
      5. Pantau hasil pemeriksaan laboratorium (elektrolit, BUN, kreatinin)
        Rasional: Peninggian BUN, kreatinin dan elektrolit menjukkan disfungsi ginjal
      6. Berikan obat sesuai indikasi:
        1. Asetazolamid (Diamox), Alupurinol (Ziloprim)
        2. Hidroklorotiazid (Esidrix, Hidroiuril), Klortalidon (Higroton)
        3. Amonium klorida, kalium atau natrium fosfat (Sal-Hepatika)
        4. Agen antigout mis: Alupurinol (Ziloprim)
        5. Antibiotika
        6. Natrium bikarbonat
        7. Asam askorbat

        Rasional:
        1. Meningkatkan pH urine (alkalinitas) untuk menurnkan pembentukan batu asam.
        2. Mencegah stasis urine dan menurunkan pembentukan batu kalsium.
        3. Menurunkan pembentukan batu fosfat
        4. Menurnkan produksi asam urat.
        5. Mungkin diperlukan bila ada ISK
        6. Mengganti kehilangan yang tidak dapat teratasi selama pembuangan bikarbonat dan atau alkalinisasi urine, dapat mencegah pemebntukan batu.
        7. Mengasamkan urine untuk mencegah berulangnay pembentukan batu alkalin.
      7. Pertahankan patensi kateter tak menetap (uereteral, uretral atau nefrostomi).
        Rasional: Mungkin diperlukan untuk membantu kelancaran aliran urine.
      8. Irigasi dengan larutan asam atau alkali sesuai indikasi
        Rasional: Mengubah pH urien dapat membantu pelarutan batu dan mencegah pembentukan batu selanjutnya.
      9. Siapkan klien dan bantu prosedur endoskopi
        Rasional: Berbagai prosedur endo-urologi dapat dilakukan untuk mengeluarkan batu
  3. Kekurangan volume cairan (resiko tinggi) berhubungan dengan mual/muntah (iritasi saraf abdominal dan pelvis ginjal atau kolik ureter, diuresis pasca obstruksi.
    1. Intervensi:
      1. Awasi asupan dan haluaran
        Rasional: Mengevaluasi adanya stasis urine/kerusakan ginjal
      2. Catat insiden dan karakteristik muntah, diare
        Rasional: Mual/muntah dan diare secara umum berhubungan dengan kolik ginjal karena saraf ganglion seliaka menghubungkan kedua ginjal dengan lambung
      3. Tingkatkan asupan cairan 3-4 liter/hari
        Rasional: Mempertahankan keseimbangan cairan untuk homeostasis, juga dimaksudkan sebagai upaya membilas batu keluar
      4. Awasi tanda vital.
        Rasional: Indikator hidrasi/volume sirkulasi dan kebutuhan intervensi
      5. Timbang berat badan setiap hari
        Rasional: Peningkatan BB yang cepat mungkin berhubungan dengan retensi
      6. Kolaborasi pemeriksaan HB/Ht dan elektrolit
        Rasional: Mengkaji hidrasi dan efektiviatas intervensi
      7. Berikan cairan infus sesuai program terapi
        Rasional: Mempertahankan volume sirkulasi (bila asupan per oral tidak cukup)
      8. Kolaborasi pemberian diet sesuai keadaan klien
        Rasional: Makanan mudah cerna menurunkan aktivitas saluran cerna, mengurangi iritasi dan membantu mempertahankan cairan dan keseimbangan nutrisi
      9. Berikan obat sesuai program terapi (antiemetik misalnya Proklorperasin/ Campazin).
        Rasional: Antiemetik mungkin diperlukan untuk menurunkan mual/muntah
  4. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi berhubungan dengan kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
    1. Intervensi:
      1. Tekankan pentingnya memperta-hankan asupan hidrasi 3-4 liter/hari
        Rasional: Pembilasan sistem ginjal menurunkan kesemapatan stasis ginjal dan pembentukan batu
      2. Kaji ulang program diet sesuai indikasi.
        1. Diet rendah purin
        2. Diet rendah kalsium
        3. Diet rendah oksalat
        4. Diet rendah kalsium/fosfat

        Rasional: Jenis diet yang diberikan disesuaikan dengan tipe batu yang ditemukan
      3. Diskusikan program obat-obatan, hindari obat yang dijual bebas
        Rasional: Obat-obatan yang diberikan bertujuan untuk mengoreksi asiditas atau alkalinitas urine tergantung penyebab dasar pembentukan batu
      4. Jelaskan tentang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik (nyeri berulang, hematuria, oliguria)
        Rasional: Pengenalan dini tanda/gejala berulangnya pembentukan batu diperlukan untuk memperoleh intervensi yang cepat sebelum timbul komplikasi serius
      5. Tunjukkan perawatan yang tepat terhadap luka insisi dan kateter bila ada.
        Rasional: Meningkatakan kemampuan rawat diri dan kemandirian

DAFTAR PUSTAKA

  1. Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
  2. Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC, Jakarta
  3. Purnomo, BB ( 2000), Dasar-dasar Urologi, Sagung Seto, Jakarta
  4. Soeparman & Waspadji (1990), Ilmu Penyakit Dalam, Jld.II, BP FKUI, Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar