Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap judicial review UU BHP menyatakan UU BHP inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga UU BHP tidak dapat diberlakukan lagi. Putusan Mahkamah Konstitusi ini mempunyai implikasi yuridis terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) dalam dunia pendidikan dan penyelengaraan pendidikan di Indonesia. Kekosongan hukum ini terjadi karena dengan dibatalkannya UU BHP tidak ada lagi peraturan yang mengatur mengenai pendirian dan tata kelola satuan pendidikan. Implikasi ini juga dialami oleh jenjang pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat melalui yayasan. Oleh karena itu, lembaga penyelenggara pendidikan kembali menggunakan dasar hukum yang berlaku sebelumnya sepanjang belum ada peraturan perundang-undangan yang baru mengenai badan hukum pendidikan.
UU BHP yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi yuridis kekosongan hukum, meskipun norma hukum tidak mungkin memiliki kekosongan. Hal ini berarti terjadi kekosongan hukum dalam tata kelola pendidikan sehingga perlu segera dibuat peraturan baru yang mengatur tentang pendidikan untuk melaksanakan amanat Pasal 53 UU Sisdiknas. Kekosongan hukum ini terjadi karena pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan melalui jenjang pendidikan yang bersandar pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tidak dapat dilaksanakan dengan dibatalkannya UU BHP. Selain itu, pengelolaan dan penyelenggaraan jenjang pendidikan yang dilakukan melalui yayasan mengalami ketidakjelasan bentuk badan hukum penyelenggaranya. Hal ini disebabkan karena sebelum UU BHP diberlakukan penyelenggara pendidikan melalui yayasan didasarkan pada UU Yayasan namun harus menyesuaikan pendirian serta tata kelolanya dengan UU BHP.
Implikasi yuridis ini sangat dirasakan oleh penyelenggara pendidikan, karena dengan dibatalkannya UU BHP mempunyai konsekuensi dicabutnya sejumlah peraturan yang mengacu pada UU BHP seperti Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Permendiknas Nomor 32 Tahun 2009 tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan, Perubahan Badan Hukum Milik Negara atau Perguruan Tinggi, dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi sebagai Badan Hukum Pendidikan dicabut. Pendidikan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah tidak terlalu merasakan implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi ini, karena menjalankan fungsi pendidikan berdasarkan pada UU Sisdiknas. Putusan tersebut berimplikasi pada jenjang pendidikan khususnya pendidikan tinggi yang statusnya berubah menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara serta jenjang pendidikan yang diselenggarakan melalui Yayasan.
Untuk mengatasi rechtsvacuum tersebut perlu dibuat peraturan baru yang dapat mengakomodasi penyelenggara jenjang pendidikan. Aturan baru ini dalam jangka pendek dapat menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Selanjutnya untuk jangka panjang perlu segera dibuat undang-undang baru, yakni undang-undang yang mengatur tentang badan hukum pendidikan yang berbeda dengan sebelumnya. Penerapan undang-undang baru tersebut nantinya memberi kebebasan bagi seluruh perguruan tinggi untuk mencari bentuknya sendiri. UU BHP yang baru ini harus dibuat dengan memperhatikan rambu-rambu dari Mahkamah Konstitusi, agar tidak lagi dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
Dalam kunjungan kerja Komisi X DPR RI ke Mahkamah Konstitusi tanggal 7 April 2010, Mahkamah Konstitusi menyampaikan rambu-rambu dalam pembuatan UU BHP yang baru ke depan antara lain sebagai berikut:
penyebutan frasa “badan hukum pendidikan” pada Padal 53 ayat (1) UU Sisdiknas harus dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan, dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu;
tidak boleh ada penyeragaman, dalam pengertian penyelenggaraan pendidikan tidak boleh ‘dipaksa’ untuk memilih suatu jenis badan hukum tertentu;
penyelenggara pendidikan boleh memilih status badan hukumnya, seperti yayasan, persekutuan, badan hukum milik negara (BHMN), bahkan berstatus badan layanan umum (BLU);
tidak boleh mengedepankan komersialisasi pendidikan.
penyeragaman lembaga penyelenggara pendidikan yang berarti sentralisasi tidak boleh disatukan dengan otonomi pendidikan, karena keduanya merupakan dua hal yang berbeda.
Untuk menyusun peraturan perundang-undangan pengganti UU BHP perlu dilakukan pengkajian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders) terkait dengan dibatalkannya UU BHP, sehingga ditemukan format baru yang segaris dengan UU Sisdiknas dan tidak melanggar rambu-rambu yang diberikan Mahkamah Konstitusi. Peraturan ini penting untuk segera diterbitkan sebagai payung hukum institusi pendidikan terutama pendidikan tinggi, termasuk perguruan tinggi yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN), karena dengan dibatalkannya UU BHP timbul polemik mengenai pijakan hukum tata kelola perguruan tinggi.
0 komentar:
Posting Komentar