Kamis, 25 Juli 2013

Ascaris lumbricoides

Hospes dan Nama Penyaki
Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides. Penyakit yang disebabkannya disebut askariasis.

Distribusi Geografik
Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survei yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1970 – 1980 menunjukkan pada umumnya prevalensi 70% atau lebih. Prevalensi tinggi sebesar 78,5% dan 72,6% masih ditemukan pada tahun 1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Di Jakarta sudah dilakukan pemberantasan secara sistematis terhadap cacing yang ditularkan melalui tanah sejak 1987 di sekolah-sekolah dasar. Prevalensi Ascaris sebesar 16,8% di beberapa sekolah di Jakarta Timur pada tahun 1994 turun menjadi 4,9% pada tahun 2000.

Morfologi dan Daur Hidup
Cacing jantan berukuran 10 – 30 cm, sedangkan yang betina 22 – 35 cm. Stadium dewasa hidup di rongga usus muda. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000 – 200.000 butir sehari; terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi.

Telur yang dibuahi, besarnya kurang lebih 60 x 45 mikron dan yang tidak dibuahi 90 x 40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu.

Bentuk infektif ini, bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuri aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding , masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena ransangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan.

Patologi dan Gejala Klinis
Gejala yang tiimbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva.

Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat  berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.

Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).

Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendiks, atau ke bronkus, dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan operatif.

Diagnosis
Cara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis. Selain itu diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung, maupun melalui tinja.  

Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal pada masyarakat. Untuk perorangan dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya piperasin dosis tunggal untuk 10 mg/kgBB, mebendazol 2 x 100 mg/hari selama 3 hari atau 500 mg dosis tunggal, albendazol dosis tunggal 400 mg.

Oksantel-pirantel pamoat adalah obat yang dapat digunakan untuk infeksi campuran A.lumbricoides dan T.trichiura. untuk pengobatan masal perlu beberapa syarat, yaitu :

  • Obat mudah diterima masyarakat
  • Aturan pemakaian sederhana
  • Mempunyai efek samping yang minim
  • Bersifat polivalen, sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing
  • Harganya murah
Prognosis
Pada umumnya askariasis mempunyai prognosisn baik. Tanpa pengobatan, infeksi cacing ini dapat sembuh sendiri dalam waktu 1,5 tahun. Dengan pengobatan, kesembuhan diperoleh antara 70 – 99%.

Epidemiologi
Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya antara 60 – 90%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencernaan tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah. Hal ini akan memudahkan terjadinya reinfeksi. Di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk.

Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antara 25° – 30°C merupakan hal-hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur A.lumricoides menjadi bentuk infektif. Anjuran mencuci tangan sebelum makan, menggunting kuku secara teratur, pemakaian jamban keluarga serta pemeliharaan kesehatan pribadi dan lingkungan dapat mencegah askariasis.

0 komentar:

Posting Komentar