Label negatif yang diberikan pada anak secara berulang-ulang, akan mengusik kepercayaan diri, harga diri dan konsep dirinya. Ia akan memandang dirinya sebagaimana yang orang lain pikirkan, apalagi jika ia menerima label tersebut dari orangtuanya sendiri. Anak akan yakin 100% bahwa apa yang disampaikan orangtua tentang dirinya adalah benar, sehingga mempengaruhi perilakunya. Anak yang diberi label akan merasa ketakutan menjadi bahan ejekan, sehingga lebih cenderung menyendiri, akibatnya ia kurang terampil untuk bersosialisasi dengan orang lain. Ada kemungkinan juga, anak dapat tertekan oleh label-label tersebut dan pada akhirnya depresi.
Pemberian label negatif pada anak juga akan mengabaikan potensi yang ada pada anak. Misalnya saja ketika orangtua mengatakan “anak bodoh”, maka anak akan menyesuaikan dirinya dengan label tersebut sehingga tidak memiliki motivasi mengeksplorasi kemampuannya yang lain seperti kreativitasnya.
Pada kasus lain, pemberian label juga akan mempengaruhi bagaimana orangtua memberikan stimulasi atau rangsangan belajar pada anak. Ketika orangtua memberikan label “anak bodoh”, maka orangtua akan memberikan tugas-tugas yang sangat sederhana dan kurang menantang kemampuan anak. Hal tersebut terjadi karena orangtua akan berpikir “pasti kalau diberikan tugas yang agak sulit, anak saya tidak akan bisa”.
Ada suatu pengecualian dalam pemberiaan label, karena ternyata labeling juga dapat bermanfaat jika digunakan pada bidang pendidikan dan pemenuhan kebutuhan anak. Pada suatu kasus anak yang telah didiagnosa mengalami gangguan autis, maka label sebagai “anak autis” menjadi melekat pada dirinya. Dengan label tersebut, maka orangtua dan guru dapat memberikan program yang tepat, sehingga anak dapat mengikuti pendidikan sesuai dengan kebutuhannya misalnya menggunakan shadow teacher, terapi, atau program belajar pendukung lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar