Rabu, 25 April 2012

DAMPAK DARI BAYI YANG LAHIR PRETERM

1.2.1. Dampak jangka pendek

Komplikasi jangka pendek pada bayi yang lahir preterm selalu dikaitkan dengan pematangan paru janin yang belum sempurna, antara lain Respiratory Distress Syndrome (RDS), Intra Ventricular Haemorrhaghe (IVH) dan Necrotizing Enterocolitis (NEC). Pada ketiga komdisi ini, hipoksia memegang peran yang sangat dominan.

1.2.2. Dampak jangka panjang

Allen dkk (1993), mengemukakann bahwa bayi-bayi yang lahir pada usia hamil 23-24 minggu yang berhasil diselamatkan menunjukkan komplikasi kelainan otak yang cukup berarti  (79% atau lebih). Hack dkk (1994) melakukan pengamatan terhadap 60 anak yang lahir dengan berat 750 gr. sampai dengan usia sekolah ternyata mempunyai masalah dalam hal ketrampilan. 45 % dari bayi-bayi preterm yang hidup memerlukan sarana penddikan khusus, dimana  21% mempunyai IQ < 70 dan banyak yang mengalami hambatan pertumbuhan dan daya penglihatan yang dibawah normal. Sedangkan bayi-bayi preterm yang lahir lebih tua  (32-34 minggu) dan mempunyai berat lahir yang lebih besar masih juga mempunyai risiko jangka pendek yang berupa RDS ,bahkan komplikasi jangka pendek ini masih bisa terjadi pada 6% bayi yang lahir dengan usia hamil 35-38 minggu. Dampak dalam segi ekonomi dari persalinan preterm.Di USA untuk 7% persalinan preterm, memerlukan 1/3 dari pembiayaan kesehatan untuk  tahun pertama kehidupan.  Perawatan bayi preterm dengan berat lahir < 2500 gr. memerlukan biaya 8 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi normal sedangkan bila berat lahir < 1500 gr. memerlukan biaya > 16 kali dibanding bayi normal. Penyebab dari persalinan preterm. Beberapa faktor yang berkaitan dengan kejadian persalinan preterm antara lain :

1. Komplikasi medis maupun obstetrik .

Kurang lebih 1/3 dari kejadian persalinan preterm disebabkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan komplikasi medis ataupun obstetrik tertentu misalnya pada kasus-kasus perdarahan antepartum ataupun hipertensi dalam kehamilan yang sebagian besar memerlukan tindakan terminasi saat kehamilan preterm . Akan tetapi 2/3  dari kejadian persalinan preterm  tidak diketahui secara jelas faktor-faktor penyebabnya , karena persalinan preterm pada kelompok ini terjadi persalinan

preterm yang spontan  ( Idiofatik ).

2. Faktor gaya hidup.

Kebiasaan merokok ( DiFronza & Lew 1995 ), kenaikan berat badan ibu selama hamil yang kurang ( Hickey 1995 ) serta penyalahgunaan obat ( kokain ) dan alkohol merupakan faktor yang berkaitan dengan gaya hidup seseorang yang bisa dihubungkan dengan persalinan preterm. Menurut Halzman dkk ( 1995), alkohol tidak hanya meningkatkan kejadian persalinan preterm saja akan tetapi juga meningkatkan risiko terjadinya kerusakan otak pada bayi yang jang lahir preterm. Selain itu kehamilan pada usia muda  ( Satin dkk 1994), sosial ekonomi rendah ( Meis 1995 ), ibu yang pendek  ( Kramer 1995 ),  stres kejiwaan ( Hedegaard 1993 ), juga merupakan faktor yang bisa dihubungkan dengan kejadian persalinan preterm meskipun kesemuanya belum dibuktikan secara konseptual sebagai penyebab persalinan preterm akan tetapi secara empirik dari penelitian epidemiologik ,statistik membuktikan adanyan korelasi antara faktor-faktor diatas dengan kejadian persalinan

preterm.

3. Infeksi dalam air ketuban ( Amniotic Fluid Infection ).

Infeksi pada jaringan korioamniotik  ( korioamnionitis ), yang disebabkan berbagai jenis mikroorganisme pada alat reproduksi wanita  dikaitkan dengan kejadian persalinan preterm pertamakali dikemukakan oleh Knox & Haernes ( 1950 ). Bobbit & Ledger (1977) memperkenalkan infeksi subklinik dari cairan ketuban sebagai penyebab persalinan preterm . Pada akhirnya Cox dkk. ( 1996 ), menemukan bahwa pemeriksaan bakteriologik yang positip didalam cairan ketuban ditemukan pada 20 % kasus persalinan preterm tanpa disertai dengan tanda-tanda klinik infeksi. Patogenesis dari infeksi ini sehingga menyebabkan persalinan preterm pertamakali dikemukakan oleh Schwarz dkk. ( 1976 ) yang memperkirakan bahwa proses persalinan pada persalinan preterm diawali dengan aktifasi dari phospholipase A2 (PLA-2) yang melepaskan bahan asam arakidonik  ( AA ) dari selaput amnion janin sehingga meningkatkan penyediaan  AA yang bebas untuk sintesa prostaglandin ( PG). Bejar dkk. ( 1981 ), melaporkan bahwa beberapa mikroorganisme menghasilkan PLA2 dan ini pula yang mengawali proses terjadinya persalinan preterm.Cox dkk ( 1989) menunjukkan data-data bahwa endotoksin ( lipopolisakarida ) masuk kedalam air ketuban merangsang sel desidua untuk menghasilkan sitokin dan  prostaglandin yang bisa mengawali proses persalinan ( kontraksi otot rahim ). Beberapa sarjana lain  menguatkan pendapat diatas dengan mengemukakan adanya endotoxin didalam air ketuban  (Romero et al., 1988 ). Saat ini telah ditemukan bahwa produk-produk dari tubuh dikeluarkan sebagai respon dari infeksi . Sebagai contoh adalah pada endotoksin sjok , disini endotoxin dari bakteri memberikan semua akibat melalui pelepasan dari mediator-mediator sel tubuh ( endogen ), seperti sitokin , sebagai respon terhadap inflamasi. Pada proses persalinan preterm yang dikaitkan dengan infeksi , diperkirakan diawali dengan pengeluaran produk sebagai hasil dari aktifasi monosit. Interleukin -1 ( IL-1 ), Tumor Necrosis Factors ( TNF ), Interleukin -6 ( IL-6), sitokin – sitokin yang diekspresikan tubuh berkaitan dengan persalinan preterm ini (Abadi, 2002). Narahara & Johnston ( 1993 ) mengemukakan bahwa Platelet Activating Factors  ( PAF),ditemukan dalam cairan ketuban bekerja secara sinergistik dengan aktifitas jalinan kerja sitokin  ( Cytokine Network ).PAF ini diperkirakan dihasilkan dalam paru dan ginjal dari janin. Dengan demikian maka janin memainkan peran yang sinergistik ddalam mengawali proses persalinan preterm yang disebabkan karena infeksi. Mungkin secara teleological hal ini menguntungkan janin dalam melindungi diri dari lingkungan yang terinfeksi.Gravett dkk. ( 1994 ) melakukan percobaan binatang  (kera ), untuk membuktikan bahwa infeksi merangsang terjadinya persalinan (pada persalinan preterm ).Streptokokus grup B disuntikkan kedalam kantung air ketuban pada binatang coba yang sedang hamil preterm. Kemudian kadar sitokin dan prostaglandin diukur secara serial didalam air ketuban . Ternyata kadar sitokin dalam air ketuban meningkat 9 jam setelah penyuntikkan yang diikuti peningkatan kadar PGE2 dan PGF2a , akhirnya diikuti oleh kontraksi otot rahim .Seperti pada manusia , pada binatang coba inipun tidak ditemukan bukti-bukti klinis adanya korioamnionitis sampai dengan proses persalinan preterm terjadi. Yang masih belum jelas benar adalah bagaimana jalur infeksi kedalam air ketuban pada hal selaput ketuban masih utuh. Gyr dkk. ( 1994  ) menunjukkan bahwa E-Coli bisa menembus melalui membran korioamnion yang masih utuh , sehingga dengan demikian bisa disimpulkan bahwa selaput yang utuh pada servik tidak bisa dipakai sebagai barier terhadap invasi kuman dari bawah.

4. Ketuban pecah prematur pada kehamilan preterm ( KPP preterm ).

Suatu reaksi inflamasi yang ditemukan pada tempat pecahnya selaput amnion pada KPP preterm telah diketahui sejak 1950 dan ini memberikan gambaran yang lebih nyata tentang infeksi. Mc Gregor dkk. ( 1987 ), dengan menunjukkkan bahwa protease yang dikeluarkan oleh kuman bisa mengurangi elatisitas selaput amnion ( in vitro ). Dengan demikian mikroorganisme telah memberi akses pada selaput ketuban untuk terjadi KPP  dengan / tanpa diikuti tanda-tanda adanya proses persalinan pada kehamilan preterm.5.  Vaginosis Bakterial. Vaginosis Bakterial ( BV ), adalah kondisi dimana flora normal vagina Laktobasilus digantikan  dengan bakteri anaerobe Gardnerella vaginalis dan Mycoplasma hominis ( Hillier dkk 1995 ). Diagnosa dari BV ini didasarkan atas pemeriksaan : -  PH vagina > 4,5 -  Bau amine bila lendir vagina ditambah KOH.-  Sel Clue ( sel epitel vagina diliputi bakteri ).-  Pengecatan dengan gram tampak adanya sel putih dengan flora campuran. Meskipun beberapa penulis menghubungkan BV ini dengan persalinan preterm atau KPP preterm, akan tetapi Thorsten ( 1996) yang meneliti 3600 wanita hamil 24 minggu dengan BV (+) tidak ada hubungannya dengan KPP pada kehamilan < 37

minggu atau berat bayi lahir rendah ( BBLR ).

6. Trikomoniasis dan Kandidiasis .

Meis dkk. ( 1995 ), mengemukakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara Trikomoniasis dan Kandidiasis dengan kejadian persalinan preterm.

7. Chlamydiasis.

Sering dikemukakan oleh sejumlah peneliti tentang adanya  gangguan terhadap fungsi reproduksi wanita ( infertility ) sebagai akibat dari infeksi oleh kuman Chlamydia Trachomatis  , akan tetapi Mc Gregor & French (1991)  serta Ryan dkk ( 1990 ), menunjukkkan bahwa tidak jelas adanya hubungan antara infeksi ini dengan proses persalinan preterm. Faktor risiko terjadinya persalinan preterm. Pendekatan obstetrik untuk persalinan preterm masih dipusatkan pada intervensi terhadap persalinan preterm yang sudah terjadi dan perawatan neonatal dini untuk bayi-bayi yang lahir preterm.Papiernik & Kaminski ( 1974 ) dan Creasy dkk. ( 1980 ) , memperkenalkan upaya untuk identifikasi dan pencegahan pada wanita-wanita yang mempunyai risiko terjadinya persalinan preterm.1. Sistem skoring risiko pada persalinan preterm .Pertamakali diperkenalkan oleh Papiernik (1974 ) dan dimodifikasi oleh Creasy dkk. 1980. Dalam sistem ini skor 1-10 diberikan pada bermacam-macam faktor dalam kehamilan termasuk sosioekonomi , histori reproduksi , kebiasaan , komplikasi selama kehamilan dan sebagainya.Wanita dengan skor 10 atau lebih dipertimbangkan mempunyai risiko tinggi terjadinya persalinan preterm .Meskipun antara 1980-1989 Creasy & Corrington dkk. Melaporkan hasil yang memuaskan ,akan tetapi Moin dkk. (1989 ) di Philadelphia melaporkan hasil yang mengecewakan dalam  menggunakan sistem skoring ini untuk meramalkan kejadian persalinan preterm. Selanjutnya sampai dengan tahun 1996 Mercer dkk. Menunjukkan bahwa sistem skoring untuk faktor risiko persalinan preterm gagal mengidentifikasikan persalinan preterm tersebut. 2. Persalinan preterm yang berulangPada anamnesa persalinan preterm yang terjadi saat ini sangat berkaitan erat dengan kejadian persalinan preterm sebelumnya. Di Scotlandia diteliti pada 6000 wanita ternyata  risiko terjadinya persalinan pretem meningkat 3 kali pada wanita -wanita yang sebelumnya sudah pernah terjadi persalinan preterm. Hal tersebut sama dengan hasil penelitian dari Kristensen dkk. ( 1995) di Denmark.Wang  ( 1995 ) dan Porter ( 1996 ) menemukan suatu tendensi persalinan preterm dalam keluarga.3. Dilatasi servik.Dilatasi servik yang tanpa gejala klinis sebelumnya  ( asimptomatik ) setelah Trimester IImerupakan suatu faktor risiko untuk terjadinya persalinan preterm.Beberapa pakar memberikan suatu pertimbangan bahwa pembukaan servik yang terjadi adalah variasi normal pada multipara. Akan tetapi sebagian lain menolak pendapat tersebut. Cook & Elwood ( 1996 ) , melakukan penelitian longitudinal tentang servik pada kehamilan 18-30 minggu dengan menggunakan USG pada primi & multigravida ternyata tidak ada perbedaan yang berarti untuk panjang dan diameter servik pada kedua kelompok paritas tersebut. Paperniek dkk. ( 1986 ) mengemukakan bahwa dilatasi servik yang terjadi pada kehamilan sebelum 37 minggu pada 4430 wanita , ternyata meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm. Sedangkan Stubbs dkk. ( 1986 ) melakukan pemeriksaan servik pada 191 wanita hamil antara 28-34 minggu menemukan bahwa yang terjadi dilatasi  > 1 cm dengan pendataran servik  > 30 % , risiko terjadinya persalinan preterm meningkat. Copper dkk. ( 1995 ), memeriksa 570 wanita yang mempunyai risiko terjadinya persalinan  preterm pada lehamilan 28 minggu menemukan bahwa keadaan servik bisa meramalkan persalinan sebelum 37 minggu. Iams dkk. ( 1994 ) menggunakan USG transvaginal untuk mengukur panjang servik pada 2915 wanita hamil 24 minggu dan diulang pada usia kehamilan 28 minggu , mendapatkan hasil bahwa panjang rata-rata ( mean ) pada hamil 24 minggu adalah 35 mm dan bila terjadi pemendekan servik yang progresif akan meningkatkan kejadian persalinan preterm.Bueken dkk. ( 1994 ), mengemukakan bahwa pemeriksaan servik selama kehamilan  ternyata tidak merubah outcome kehamilan yang berhubungan dengan persalinan preterm. Gejala klinis dari persalinan preterm.Tanda-tanda klinis dari persalinan preterm adalah didahului dengan adanya kontraksi uterus dan rasa menekan pada panggul ( menstrual like cramp , low back pain ) kemudian diikuti dengan keluarnya cairan vagina yang mengandung darah ( Iams dkk 1990 ; Kragt & Keirse 1990 ) .Selanjutnya Iams dkk. ( 1994 ), mengemukakan bahwa gejala klinis tersebut merupakan tanda-tanda terakhir dari proses persalinan preterm oleh karena hal tersebut terjadi pada 24 jam sebelum terjadinya persalinan. Indikator-indikator untuk meramalkan terjadinya persalinan preterm.Pengenalan dini wanita yang berisiko untuk terjadinya persalinan preterm dalam hal ini sangat penting artinya. Berbagai indikator telah dikemukakan untuk pengenalan dini risiko terjadinya persalinan preterm antara lain :1. Indikator klinik. Seperti persalinan pada umumnya kontraksi uterus, penipisan atau pemendekan servik baik dengan pemeriksaan klinis (manual) ataupun dengan alat tokodinamometer (untuk mengetahui adanya kontraksi uterus yang adekuat) serta ultrasonografi ( untuk mengetahui pemendekan servik) merupakan indikator klinis yang sangat penting diketahui untuk meramalkan apakah persalinan perterm akan terjadi dalam waktu singkat ataukah masih bisa dipertahankan untuk meningkatkan usia hamil.Dikemukakan bahwa adanya penipisan servik dengan pemeriksaan vaginal pada kasus dengan tanda-tanda persalinan preterm membakat dengan ketuban intak dapat meramalkan peningkatan kejadian persalinan preterm 2 sampai 5 kali lipat. Dengan pemeriksan ultrasonografi vaginal pada kasus-kasus usia hamil antara 14-24 minggu, bila didapatkan panjang servik kurang dari 15 mm akan meramalkan terjadinya persalinan prematur dengan nilai prediksi positip 48% (Hassan, 2000). Penelitian terakhir di RSUD. Dr. Soetomo Surabaya ditemukan bahwa pada kasus-kasus dengan usia hamil antara 28-34 minggu dengan tanda-tanda persalinan preterm membakat (partus prematurus iminens) bila ditemukan penipisan servik lebih dari 50% (dengan pemeriksaan vaginal) meramalkan terjadinya persalinan dalam waktu 6 jam sampai 11 hari (5,8±5,2 hari) dengan nilai prediksi positip 74% ( RR. 2,57 ). Pemeriksaan dengan tokodinamometer pada kasus tersebut diatas bila ditemukan 3 kontraksi atau lebih dalam 10 menit akan meningkatkan kejadian persalinan preterm dengan nilai prediksi positip 74% (RR. 3,30 ). Dikemukakan pula pada penelitian diatas bahwa dengan indikator kombinasi antara kontraksi uterus dan penipisan servik akan meningkatkan nilai prediksi indikator tersebut untuk meramlkan terjadinya persalinan preterm (Abadi, 1999).2. Indikator laboratorik.

Jumlah leukosit dalam air ketuban dengan nilai batas 20 atau lebih per ml mempunyai arti dalam menentukan adanya korioamnionitis dengan OR. 74,0. Dibanding dengan pemeriksaan CRP ( 0,7 mg/ml), lekosit dalam serum ibu (13000 /ml) pemeriksaan tersebut diatas lebih bermakna (Yoon, 1996). Di RSUD. Dr. Soetomo Surabaya penelitian semacam ini telah dilakukan dan mendapatkan hasil bahwa bila ditemukan jumlah lekosit dalam serum ibu 11.500 / ml atau lebih akan berisiko terjadinya persalinan preterm dengan nila prediksi positip 75% (RR. 2,16).

3. Indikator Biokimiawi.3.1 Fibronektin Janin.Fibronektin Janin adalah protein pada selaput korioamnion, desidua dan dalam air ketuban. Fungsinya sebagai perekat antara buah kehamilan dengan permukaan dalam dinding uterus. Produksi fibronektin janin oleh sel korion manusia akan meningkat oleh reaksi keradangan. Beberapa peneliti telah membuktikan peran fibronektin janin ini untuk meramalkan kejadian persalinan preterm (Armson, 1999). Peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina, servik dan air ketuban membrikan indikasi adanya gangguan pada hubungan antara korion dan desidua. Pada kehamilan 24 minggu atau lebih kadar fibronektin janin dalan cairan servikovaginal 50 ng/ml atau lebih, akan meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm denmga sensitivitas 80% dan nilai prediksi positip 83% (Novi, 1995). Lebih jauh peningkatan kadar fibronektin janin pada kehamilan 8-22 minggu pada wanita-wanita yang berisiko tinggi akan meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm secara bermakna (Leitich, 1999; Goldenberg, 2000). 3.2 Corticotropin Releasing Hormon (CRH).Stress pada ibu dan janin telah diketahui berkaitan dengan kejadian persalinan preterm. Pada awalnya CRH yang diekspresikan di Hypothallamus dan merupakan mediator stress. Akan tetapi CRH juga diekspresikan oleh sel tropoblast, plasenta, korion, amnion dan desidua. Kadar CRH dlam serum ibu akan meningkat secara progresif selama trimester 2 sampai dengan trimester 3, mencapai puncaknya pada saat persalinan dan menurun dengan cepat pasca persalinan. Kemungkinan besar stress pada ibu maupun janin akan memicu terjadinya persalinan preterm melalui mekanisme pelepasan mediator stress yang dapat menyebabkan peningkatan pelepasan prostanoids pada plasenta dan selaput ketuban. Penelitian in vitro, menunjukkan bahwa CRH merangsang produksi prostanoids oleh sel amnion, korion dan desidua. Sebaliknya bahan prostanoids dan oksitosin merangsang pelepasan CRH oleh sel plasenta. Dengan demikian pada kasus-kasus persalinan preterm yang berkaitan dengan stress ini akan disertai dengan peningkatan dini dari kadar CRH dalam serum ibu. Peningkatan kada CRH pada kehamilan trimester 2 merupakan indikator kuat untuk persalinan preterm (Mc Lean, 1999).3.3 Sitokin inflamasi.Peran sitokin inflamasi seperti IL-1b, IL-6, IL-8 dan TNF-a, telah diteliti sebagai mediator yang mungkin berperan dalam sintesa prostaglandin. Pada kasus persalinan preterm ekspresi sitokin ini meningkat secara bermakna dibandingbdengan persalinan aterm. Penelitian di RSUD. Dr. Soetomo Surabaya, menunjukkan bahwa IL-6 merupakan sitokin yang paling dominan diekspresikan dalam air ketuban yang merupakan faktor penentu terjadinya persalinan preterm pada kasus-kasus persalinan preterm membakat dengan ketuban yang masih intak.

Dengan nilai batas (cutoff) 3000 pg/ml IL-6 dalam air ketuban akan berisiko untuk terjadinya persalinan preterm dengan RR 6,52 ( CI. 95%. 2,28-18,67), sensitivitas 90%, spesifitas 90% dan nilai prediksi positip 93%.

3.4 Isoferritin Plasenta. Isoferritin Plasenta adalah protein yang diekspresi oleh sel limfosit T (T-Cell / CD-4) pada plasenta. Sel limfosit T (CD-8) mengekspresi reseptor dari isoferritin ini. Ikatan bahan isoferritin ini dengan reseptornya akan mampu menghambat reaktivitas CD-4 terhadap embryonic alloantigen dan melindungi kehamilan dari reaksi penolakan dari tubuh ibu (immunosuppresant). Kegagalan ekspresi bahan ini oleh plasenta akan berakibat penolakan buah kehamilan oleh tubuh ibu sehingga terjadi abortus atau persalinan preterm. Dalam keadaan nprmal (tidak hamil) kadar isoferritin ini 10 U/ml. Kadarnya meningkat secara bermakna selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester terakhir yakni 54,8 ± 53 U/ml. Penurunan kadar isoferritin dalam serum kurang dari 15,8 ± 15,7 U/ml akan berisiko untuk terjadinya persalinan preterm dengan nilai prediksi positip 59% .(Maymon, 1996).3.5 Ferritin.Ferritin adalah suatu bahan protein kaya zat besi (iron storage protein) yang diekspresi oleh berbagai jaringan antara lain liver, limpa, tulang dan plasenta. Rendahnya kadar ferritin merupakan indikator yang sensitif untuk keadaan kekurangan zat besi. Peningkatan ekspresi ferritin ini berkaitan dengan berbagai keadaan reaksi fase akut (acute phase reaction) termasuk kondisi inflamasi. Beberapa peneliti telah mengemukakan adanya hubungan antara peningkatan kadar serum ferritin dengan kejadinan penyulit-penyulit kehamilan antara lain persalinan preterm, berat bayi lahir rendah dan pre-eklamsi. Dikemukakan juga bahwa peningkatan kadar ferritin serum pada kehamilan trimester 2 merupakan prediktor yang berarti untuk terjadinya persalinan preterm spontan terutama pada usia kehamilan yang masih sangat awal ( Ramsey, et al. 2002). Dari semua indikator yang telah diteliti diatas maka indikator klinis (kontraksi uterus dan penipisan servik) dan indikator laboratorik sederhana (lekosit serum) merupakan indikator yang sangat bermanfaat oleh karena murah dan sangat mudah dilaksanakan di lapangan dibanding dengan pemeriksaan biokimiawi ( sitokin ) yang sangat mahal dan tidak selalu bisa diperiksa disetiap tempat. Penggunaan kombinasi dari 2 atau lebih indikator diatas akan meningkatkan nilai prediksi untuk terjadinya persalinan preterm. Tabel 1. Risiko relatif dan nilai prediksi positip indikator tunggal (Abadi, 2000).
Indikator Nilai Batas Risiko Relatif Nilai Prediksi Positip
IL-6 ³ 3000 pg/ml 6,52 93 % Kontr. Uterus ³ 3 /10 mt 3,30 74 % Effacement > 50% 2,57 74 %

0 komentar:

Posting Komentar