Pada tahun 1980 Seminar Ekonomi Pancasila dalam rangka seperempat abad FE-UGM “menghimbau” pemerintah Indonesia untuk berhati-hati dalam memilih dan melaksanakan strategi pembangunan ekonomi. Ada peringatan “teoritis” bahwa ilmu ekonomi Neoklasik dari Barat memang cocok untuk menumbuhkembangkan perekonomian nasional, tetapi tidak cocok atau tidak memadai untuk mencapai pemerataan dan mewujudkan keadilan sosial. Karena amanah Pancasila adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka ekonom-ekonom UGM melontarkan konsep Ekonomi Pancasila yang seharusnya dijadikan pedoman mendasar dari setiap kebijakan pembangunan ekonomi. Jika Emil Salim pada tahun 1966 menyatakan bahwa dari Pancasila yang relevan dan perlu diacu adalah (hanya) sila terakhir, keadilan sosial, maka ekonom-ekonom UGM menyempurnakannya dengan mengacu pada kelima-limanya sebagai berikut:
Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;
Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial;
Semangat nasionalisme ekonomi; dalam era globalisasi mekin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri;
Demokrasi Ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat;
Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagaimana terjadi pemerintah Orde Baru yang sangat kuat dan stabil, memilih strategi pembangunan berpola “konglomeratisme” yang menomorsatukan pertumbuhan ekonomi tinggi dan hampir-hampir mengabaikan pemerataan. Ini merupakan strategi yang berakibat pada “bom waktu” yang meledak pada tahun 1997 saat awal reformasi politik, ekonomi, sosial, dan moral.
Globalisasi atau Gombalisasi
Dalam 3 buku yang menarik The Globalization of Poverty (Chossudovsky, 1997), Globalization Unmasked (Petras & Veltmeyer, 2001), dan Globalization and Its Discontents (Stiglitz, 2002) dibahas secara amat kritis fenomena globalisasi yang jelas-jelas lebih merugikan negara-negara berkembang yang justru menjadi semakin miskin (gombalisasi). Mengapa demikian? Sebabnya adalah bahwa globalisasi tidak lain merupakan pemecahan kejenuhan pasar negara-negara maju dan mencari tempat-tempat penjualan atau “pembuangan” barang-barang yang sudah mengalami kesulitan di pasar dalam negeri negara-negara industri maju.
Globalization is … the outcome of consciously pursued strategy, the political project of a transnational capitalist class, and formed on the basis of an institutional structure set up to serve and advance the interest of this class (Petras & Veltmeyer. 2001: 11)
Indonesia yang menjadi tuan rumah KTT APEC di Bogor 1994, mengejutkan dunia dengan keberaniannya menerima jadwal AFTA 2003 dan APEC 2010 dengan menyatakan “siap tidak siap, suka tidak suka, kita harus ikut globalisasi karena sudah berada di dalamnya”. Keberanian menerima jadwal AFTA dan APEC ini, kini setelah terjadi krismon 1997, menjadi bahan perbincangan luas karena dianggap tidak didasarkan pada gambaran yang realistis atas “kesiapan” perekonomian Indonesia. Maka cukup mengherankan bila banyak pakar Indonesia menekankan pada keharusan Indonesia melaksanakan AFTA tahun 2003, karena kita sudah committed. Pemerintah Orde Baru harus dianggap telah terlalu gegabah menerima kesepakatan AFTA karena mengandalkan pada perusahaan-perusahaan konglomerat yang setelah terserang krismon 1997 terbukti keropos.
0 komentar:
Posting Komentar