Kamis, 09 Februari 2012

Ekonomisme yang Menjauhi Pancasila

Dalam buku Wilber Moore, Economy and Society (Random House, 1955) yang meminjam dari buku besar Max Weber sosiolog Jerman, Wirtschaft und Gesellschaft atau Economy and Society (Tubingen, JCB Hohr, 1910) jelas bahwa ekonomi dianggap wilayah kecil yang merupakan bagian dari wilayah besar masyarakat. Dengan perkembangan masyarakat yang makin komplek, kehidupan ekonomi menjadi makin penting dan lama-kelamaan dalam sistem (ekonomi) kapitalisme seakan-akan menjadi jauh lebih penting ketimbang masyarakat sendiri.

Meskipun di Indonesia semua orang menyadari krisis yang kita hadapi sejak 1997 adalah krisis multidimensi (politik, ekonomi, budaya), namun orang cenderung dengan mudah menyebutnya sebagai krisis ekonomi. Konotasi ekonomi rupanya dianggap jauh lebih “menyeluruh” atau dianggap jauh lebih penting ketimbang aspek-aspek kehidupan politik, sosial, budaya, bahkan moral. Adapun alasan utama anggapan lebih pentingnya ekonomi ketimbang faktor-faktor lain adalah karena sejak pembangunan ber-Repelita (1969), pembangunan ekonomi berupa pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun selama 30 tahun (210% secara akumulatif), telah mengubah Indonesia secara “luar biasa” dari sebuah negara miskin menjadi megara yang tidak miskin lagi.

 Perubahan besar masyarakat Indonesia karena keberhasilan dalam pembangunan ekonomi memberikan kesan adanya sumbangan luar biasa dari teknokrat ekonomi dan hampir-hampir melupakan kemungkinan adanya jasa kepakaran lain-lain di luar ekonomi. Jika ada profesi lain di luar ekonomi ia adalah militer yang telah berjasa menjaga kestabilan politik pemerintah Orde Baru, yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya pembangunan ekonomi secara berkelanjutan. Inilah yang oleh Bank Dunia (1993) disebut sebagai East Asian Miracle, karena Indonesia merupakan bagian dari 8 negara Asia Timur yang telah mengalami “Sustainable rapid growth with highly equal income distribution”. Jika kita baca secara teliti buku East Asian Miracle maka akan nampak kesembronoannya dalam menggambarkan realita ekonomi Indonesia saat itu. Memang benar pertumbuhan ekonomi positif rata-rata 7% pertahun berlangsung 30 tahun, meskipun pernah serendah 2,2% pada tahun 1982. Namun sangat keliru untuk menyatakan bahwa pembagian pendapatannya sangat merata (highly equal). Pada tahun yang sama dengan penerbitan buku (1993), Sidang Umum MPR menyatakan telah munculnya kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi yang tajam yang jika dibiarkan akan berakibat pada keangkuhan dan kecemburuan sosial. Kekeliruan fatal dari masyarakat dan bangsa Indonesia adalah mengabaikan hasil Sidang Umum MPR 1993 tersebut dan menganggap kesimpulan buku East Asian Miracle lebih benar. Akibatnya, tidak sampai Repelita VI selesai, krismon yang merupakan “bom waktu” meledak tahun 1997, tanpa kita mampu menduganya. Padahal jika kita waspada justru MPR 1993 telah benar-benar memperingatkannya.

Kini hampir 6 tahun setelah krismon meledak, kita bangsa Indonesia masih bersikukuh bahwa “ekonomi adalah segala-galanya”. Itulah yang kami sebut sebagai periode Ekonomisme (Mubyarto, 2001). Terbukti krisis yang jelas bersifat multidimensi kita sebut hanya sebagai krisis ekonomi dan satu-satunya jalan keluar (solution) dari suatu krisis ekonomi adalah kebijakan (makro) ekonomi untuk pemulihan ekonomi (economic recovery). Maka tidak heran kita menyambut gembira misi PBB di Jakarta bertajuk UNSFIR (United Nations Support Facility for Indonesian Recovery) yang dipimpin pakar-pakar ekonomi. UNSFIR setelah bekerja 5 tahun di Indonesia tidak pernah berhasil membantu proses pemulihan ekonomi tetapi hasilnya baru sekedar “studi-studi”.

Salah satu kesalahan serius, sekali lagi, adalah kepercayaan kita yang terlalu besar bahwa pemulihan ekonomi melalui kebijakan-kebijakan ekonomi konvensional adalah satu-satunya jalan. Dan di antara cara-cara konvensional itu adalah menganggap bahwa kebijakan moneter khususnya melalui peranan perbankan modern adalah segala-galanya. Sektor perbankan dianggap “conditio sine qua non” termasuk kini pasar uang dan pasar modal, sehingga pemerintah bersedia membiayai berapapun untuk “menyelamatkan” sektor perbankan melalui program rekapitalisasi perbankan. Sikap pemerintah yang keliru dalam menghadapi krisis perbankan inilah yang telah menyandera seluruh kebijakan pemerintah sejak krismon padahal terbukti BPPN sebagai rumah sakit perbankan nasional justru menjadi lahan baru kaum pemodal (kapitalis) untuk mengeruk keuntungan bagi mereka sendiri. Di kalangan perbankan swasta sama sekali tidak nampak itikad baik membantu menyelesaikan masalah ekonomi yang sedang dihadapi negara dan bangsa Indonesia.

Jika kini kita bertanya kepada pakar-pakar ekonomi bagaimana peranan “Ekonomi Bangsa dalam upaya mensejahterakan Masyarakat”, maka mayoritas ekonom tidak akan sanggup menjawabnya, kecuali mereka yang tidak lagi percaya pada teori-teori ekonomi Neoklasik Ortodok Barat yang dikuasainya. Selama pakar-pakar ekonomi merasa teori ekonomi Kapitalisme-Neoliberal harus tetap dianut Indonesia, lebih-lebih jika mereka berpendapat Indonesia jangan coba-coba melawan kekuatan globalisasi yang dahsyat, maka tidak mungkin pakar-pakar ekonomi dapat menemukan resep untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia. Menghadapi kekuatan globalisasi banyak diantara pakar ekonomi kita menyarankan sikap konyol “if you can not beat them, join them”. Kita harus sadar bahwa pemecahan masalah ekonomi Indonesia tidak terletak di bidang ekonomi tetapi di bidang sosial, politik, budaya, dan moral bangsa. Faktor-faktor itulah yang terkandung dalam Pancasila ideologi bangsa. Hanya dalam Pancasila terkandung dasar-dasar moral dan kemanusiaan, cara-cara nasionalistik dan kerakyatan/demokratis, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Inilah ajaran Ekonomi Pancasila. Sistem Ekonomi Pancasila adalah Sistem Ekonomi Pasar yang mengacu pada setiap sila Pancasila. Sistem ekonomi Pancasila memberikan pedoman penyusunan kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak sekedar efisien, tetapi juga adil. Masyarakat bangsa Indonesia yang akan kita wujudkan adalah masyarakat yang adil dan makmur berdasar Pancasila, masyarakat yang makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran. Suatu masyarakat yang tidak efisien dapat bertahan beberapa generasi tetapi jika keadilan sama sekali diabaikan masyarakat yang bersangkutan akan terus bergejolak dan tidak pernah akan merasa tenteram.

Dalam era perubahan besar yang kita kenal dengan nama globalisasi atau keadaan pasar bebas, ekonomi Indonesia akan terhanyut, dan tidak akan mampu bertahan, jika kita sebagai bangsa tidak  lagi mempunyai rasa percaya diri. Globalisasi adalah gerakan berkekuatan raksasa karena dikendalikan oleh kekuatan modal besar dan teknologi super canggih dari negara-negara kapitalis Barat yang ingin menguasai dunia. Aturan main globalisasi adalah aturan buatan mereka dan tidak ada sedikitpun peranan negara-negara berkembang seperti Indonesia yang ikut mempengaruhinya. Maka satu-satunya jalan bagi Indonesia untuk melawannya adalah dengan menyusun aturan main buatan kita sendiri berdasar kekuatan sosial-budaya kita sendiri. Itulah ideologi Pancasila, ideologi yang telah berhasil menyatukan bangsa Indonesia sehingga dapat menjadi bangsa merdeka tahun 1945. Mengapa kemerdekaan Indonesia yang sudah berumur 57 tahun tidak mampu membuat bangsa Indonesia percaya diri untuk mempertahankan kemerdekaan dan menghadapi perubahan besar/globalisasi? Jawabannya jelas karena bangsa Indonesia telah tererosi moralnya dan dimanja oleh kemajuan materi selama 30 tahun era ekonomisme. Kini tidak ada jalan lain kecuali menemukan kembali jati diri bangsa dan sekali lagi jati diri itu tidak lain adalah Pancasila. Pancasila telah dua kali menyelamatkan bangsa Indonesia yaitu tahun 1945 telah membebaskan kita dari penjajahan, dan tahun 1966 membebaskan kita dari ancaman komunisme. Kini kita harus percaya bahwa hanya Pancasilalah yang akan menyelamatkan kita dari ancaman globalisasi yang liar dan serakah.

0 komentar:

Posting Komentar