Sabtu, 04 Februari 2012

CONTOH ARTIKEL TENTANG TEORI INVESTASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DALAM EKONOMI PANCASILA

(1)   Economics is too important to leave to the economists.

(2)   Economic theory has been off many attacks, not because it has been strong enough to withstanding them, but because it has strong enough to ignore them… part of that strength has come from irrelevance of economics.

(3)   For over a century economists have shown that economic theory is replete with logical inconsistencies, specious assumptions, errant notions, and predictions contrary to empirical data.

(4)   Politicians, businessmen and ordinary folk who rely on economic forecasts are far more often than not misled.

(5)   Since mainstream economics is profoundly wrong, the existence of alternatives to it is highly important.

(6)   If economics is to become less of a religion and more of a science, then the foundations of economics should be torn down and replaced.

(7)   It’s time to expose the nakedness of neoclassical economics.

(Steve Keen, 2001, Debunking Economics: The Naked Emperor of the Social

 Sciences, Pluto Press, Sydney)



I.               Paul Samuelson yang oleh Robert H. Nelson penulis buku Economics as Religion (Penn State,2001) disebut sebagai seorang Nabi yang berhasil, dalam buku teks Introductory Economics menyederhanakan kehidupan ekonomi setiap masyarakat seperti gambar 1:


Pendapatan nasional menurut Nabi Samuelson naik dan turun karena perubahan investasi yang pada gilirannya tergantung pada perubahan teknologi, penurunan tingkat bunga, pertumbuhan penduduk, dan faktor-faktor dinamis lainnya.

Apa yang salah dalam “model” ini jika diterapkan dalam ekonomi Indonesia atau Perekonomian Pancasila?. Para calon ekonom tidak seorangpun berani bertanya kemungkinan melesetnya model tersebut. “Manusia di manapun bersifat rasional, homo ekonomikus; manusia/orang Amerika atau Indonesia sama saja”. Walhasil tidak ada yang berani menolak kebenaran “fatwa” Nabi Samuelson.

Sebenarnya jauh sebelum buku edisi pertama Introductory Economics terbit tahun 1948 sudah ada ahli ekonomi Belanda bernama J.H. Boeke (1910) yang meragukan dapat diterapkannya teori-teori ekonomi barat di Indonesia karena sifat dualistis ekonomi Indonesia. Tetapi hanya segelintir pakar ekonomi Indonesia yang menganggap teori Boeke cukup berharga untuk ditanggapi bahkan ada yang menganggapnya sebagai teori ekonomi untuk melanggengkan penjajahan Belanda di Indonesia.

Kini setelah terjadinya krismon tahun 1997-1998, investasi yang “dipompakan” ke dalam ekonomi Indonesia anjlog, bahkan terjadi pelarian modal (capital flight) $ 10 milyar setiap tahun. Mengapa pertumbuhan ekonomi negatif hanya terjadi satu tahun saja (1998) dan sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 terjadi pertumbuhan ekonomi positif rata-rata 3,2 % per tahun?. Apakah “hukum ekonomi” yang mengatakan tidak ada pertumbuhan ekonomi tanpa investasi tidak berlaku lagi di Indonesia? Bagaimana dosen-dosen ilmu ekonomi menerangkan fenomena ini?. Ya, mereka masih dapat berkelit bahwa sesungguhnya sumber pertumbuhan ekonomi tidak hanya investasi tetapi juga konsumsi masyarakat, hanya saja konsumsi tidak mungkin berkelanjutan dan suatu saat tidak akan lagi mampu menyangga pertumbuhan ekonomi. Yang benar, dan dapat diperoleh data-data pendukung, adalah bahwa investasi tidak hanya dapat dilakukan oleh dunia usaha, tetapi dapat juga dilakukan oleh masyarakat/rumah tangga, yang sejauh ini, dalam ajaran Nabi Samuelson, masyarakat/rumah tangga hanya mampu berkonsumsi. Inilah kekeliruan fatal teori investasi Neoklasik ortodok yang sampai sekarang terus kita ajarkan pada mahasiswa ekonomi Indonesia, dan para petinggi negara kita tidak ada yang menyadari kekeliruan ajaran ini.

Yang seharusnya juga segera kita sadari adalah bahwa persamaan Y = C + I + G tidak lagi dapat dianggap benar karena C sebenarnya terdiri atas dua komponen yaitu komponen konsumsi riil dan komponen investasi. Pengeluaran masyarakat bisa berupa pengeluaran investasi, yang tidak harus melalui perbankan. Barang-barang yang biasanya dikelompokkan sebagai barang konsumsi seperti sepeda motor tidak semuanya termasuk barang konsumsi, seperti sepeda motor untuk armada ojeg untuk jasa angkutan di kota-kota atau di desa-desa.



II.                   Disamping kesalahan fatal teori ekonomi Neoklasik ortodok yang memisahkan secara tegas antara kegiatan bisnis dan kegiatan rumah tangga (household), kesalahan yang lebih mendasar lagi adalah anggapan bahwa manusia sepenuhnya bersifat homo-ekonomikus yang tidak (perlu) hidup bermasyarakat. Margaret Thatcher mantan perdana menteri Inggris pernah dengan kepercayaan diri luar biasa menyatakan  “ there is no such thing as society “ (Ormerod 1994 : 12). Yang aneh fatwa-fatwa manusia sebagai homo-ekonomikus ini sering dianggap diajarkan oleh Adam Smith sendiri padahal dalam buku pertamanya (The Theory Of Moral Sentiments, 1759). Adam Smith dengan meyakinkan menyatakan manusia adalah homo-socius

The importance to Smith of the overall set of values in which the economy operates is generally ignored by his followers in the late twentieth century. His economics, based upon individual self-interest, is remembered, but his moral framework is not. (Ormerod 1994 : 14)

Demikian pakar-pakar ekonomi senior, yang belajar ilmu ekonomi di negara-negara Barat terutama di Amarika pada tahun-tahun enampuluhan dan tujuhpuluhan, harus merasa “berdosa” karena mengawali penyebarluasan ajaran yang bersumber pada filsafat moral yang tidak sesuai dengan sistem nilai dan budaya bangsa Indonesia. Pertama, ajaran Adam Smith hanya diambil separo saja yaitu bukunya yang kedua (Wealth of Nations, 1776), sedangkan buku keduanya The Theory of Moral Sentiments 1759) sama sekali dilupakan. Kedua, pengertian ekonomi positive yang di Amerika sudah tidak lagi dipisahkan dengan ekonomi normatif, kita di Indonesia masih bersikukuh mempertahankannya, dan mereka yang berpandangan demikian menolak ajaran ekonomi Pancasila karena dianggap merupakan ajaran yang normatif. Yang benar, ajaran ekonomi positive yang termuat dalam buku-buku teks ekonomi Barat merupakan ajaran positive di negara-negara Barat terutama Amerika, tetapi harus dianggap normatif bagi masyarakat Indonesia. Ketiga , dosen-dosen ilmu ekonomi kita harus rajin mengajarkan teori-teori ekonomi tidak semata-mata secara deduktif dari buku-buku teks, tetapi harus bersama-sama mahasiswanya mengadakan penelitian-penelitian induktif-empirik sekaligus dengan mempelajari sungguh-sungguh sejarah (pemikiran) ekonomi dan sejarah perekonomian. Dosen ekonomi harus mengadakan penelitian, dan menggunakan hasil-hasil penelitiannya untuk memperkaya bahan-bahan kuliahnya. Kuliah harus kontekstual bukan hanya tekstual. Hanya dengan cara demikian kurikulum berbasis kompetensi dapat dilaksanakan dengan baik. Inilah kelebihan metode pendidikan yang bersifat problem posing, bukan hanya bersifat banking education. (Freire dalam Ekins & Max-Neef 1992:15-16).

Saya yakin pakar-pakar ekonomi dengan gelar Doktor atau Ph.D dari Barat memahami betul 4 kalimat awal bab III buku Alfred Marshall, Principles of Economics (1890) berikut:

It is the business of economics as almost every other science to collect facts, to arrange and interprete them, and to draw inferences from them.



“Observation and discription are preparatory activities. But what we desire to reach thereby is a knowledge of the interdependence of economic phenomena …. Induction and deduction are both needed for scientific thought as the right and left foot are both needed for walking” (Marshall 1890: 29).

Jika UGM bertekad menuju Universitas Penelitian, dosen-dosennya harus melakukan penelitian, mungkin dengan cara separo gajinya dibayarkan untuk tugas mengajar dan separo gaji yang lain hanya dibayarkan apabila ia benar-benar melakukan penelitian.

III.                  Kekeliruan lain yang sangat umum dari ekonom Indonesia adalah pemujaan yang berlebihan pada konsep pertumbuhan ekonomi yang dianggap mampu menggambarkan kondisi apapun dari perekonomian masyarakat bahkan juga kondisi kesejahteraan masyarakat. Misalnya kontraksi ekonomi –13,4% tahun 1998 yang memang belum pernah dialami dalam sejarah ekonomi Indonesia sepanjang masa, dianggap “bencana paling dahsyat dalam sejarah peradaban manusia modern”. Sejumlah ekonom masih belum merasa cukup menggambarkan beratnya kontraksi ekonomi –13,4% dengan menambahkan angka 7% pertumbuhan ekonomi setahun sebelumnya (1997), sehingga kontraksi ekonomi total adalah +7% dan -13,4% menjadi –20,4%.

Pemujaan yang berlebihan terhadap angka pertumbuhan ekonomi menyebabkan ekonom dengan mudah melupakan besaran atau nilai PDB atau PNB nya sendiri, padahal jika PDB Indonesia telah tumbuh rata-rata 7% pertahun selama 30 tahun (1966-1996) atau selama 27 tahun (1966-96), bukankah pertumbuhan PDB akumulatif ini telah menjadi 210% (30 tahun) atau 189% (27 tahun)?

Mengapa kontraksi ekonomi –13,4% dikurangkan dari titik 0 dan tidak dari pertumbuhan ekonomi akumulatif 189%, sehingga sebenarnya Indonesia setelah berhasil membangun selama 27 tahun masih memiliki surplus pertumbuhan 175%. Kekeliruan inilah yang dengan tepat diingatkan Amartya Sen peraih Nobel Ekonomi 1998

It may be wondered why should it be so disastrous to have say a 5 or 6 percent fall in gross national product in one year when the country in question has been growing at 5 or 10 percent per year for decades. Indeed at the agregate level this is not quintessentially a disastrous situation (Sen 200 : 187)

Angka pertumbuhan ekonomi 7% dianggap sebagai angka keramat yang harus dapat diraih kembali secepat mungkin kalau Indonesia berharap dapat mengatasi pengangguran yang “dahsyat” dan menciptakan kesempatan kerja bagi tenaga kerja yang terus-menerus memasuki lapangan kerja, sedangkan angka 3 – 4 persen dianggap sangat tidak memadai. Mengapa ekonom sangat gemar memperdebatkan angka-angka pertumbuhan ekonomi sehingga mengurangi peluang membahas masalah-masalah ekonomi riil yang dihadapi masyarakat?  Inilah masalah besar yang mengundang keluhan kadang-kadang bahkan kemarahan pakar-pakar ilmu sosial di luar ekonomi. Rupanya pakar-pakar ekonomi merasa kurang terhormat atau prestisenya menurun jika tidak berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, investasi, pengangguran, atau inflasi. Yang benar, ilmu ekonomi adalah ilmu sosial dan harus tetap merupakan ilmu sosial yang tidak harus selalu berbicara dengan angka yang eksak dengan menggunakan matematika. Indonesia dewasa ini sangat membutuhkan bantuan analisis ilmu ekonomi kelembagaan yang mempertimbangkan faktor-faktor budaya dalam ekonomi. Disinilah jelas diperlukan kesediaan (dan keberanian) ekonom bekerjasama dengan sosiologi, antropologi, dan etika. Ekonomi Pancasila adalah ekonomika etik yang pernah sangat didambakan oleh Ace Partadiredja tahun 1981, namun tetap sulit diterima ekonom sa    mpai 22 tahun kemudian.



IV.           Jika krisis moneter dan krisis perbankan kini telah memasuki tahun ke-6 tanpa ada tanda-tanda dapat segera diatasi, maka yang paling utama untuk diminta pertanggung-jawabannya adalah ekonom. Mengapa? Adalah teknokrat ekonomi yang telah berjasa mentranformasikan ekonomi Indonesia dari kondisi negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah dalam periode 3 dekade. Maka jika kini kondisi moneter dan perbankan Indonesia kocar-kacir tidak patutkah kita menuntut ekonom untuk kembali memimpin barisan untuk mengatasinya?. Pertanyaan yang logis dan sederhana ini ternyata sulit dijawab para ekonom karena paham atau ideologi ekonom memang sangat sempit yaitu ajaran Neoklasik ortodok yang sudah ketinggalan jaman dan sangat tumpul, tidak mampu mengatasi krisis yang bersifat multidimensi padahal perekonomian Indonesia yang dualistik makin berinvolusi. Maka teori demi teori konvensional tak satupun yang mampu menghasilkan rekomendasi kebijakan yang mujarab. Misalnya pembentukan BPPN untuk menyelamatkan sektor perbankan secara teoritis sudah berpeluang mencapai tujuannya karena jangka waktu kerjanya hampir habis (2004), sehingga harus bubar, tetapi tak satupun bank besar swasta yang dirawatnya menjadi sehat kembali, padahal nilai obligasi rekapitalisasi yang Rp 650 trilyun benar-benar sangat berat membebani rakyat melalui APBN. Memang banyak pendapat bahwa KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) adalah penyebab utama kegagalan program kerja BPPN. Tetapi kami berpendapat bahwa sejak awal teori ekonomi yang dipakai memang keliru, yaitu menganggap perbankan sebagai “urat nadi perekonomian” yang harus diselamatkan dan disehatkan dengan biaya erapapun, meskipun dengan subsidi amat besar berupa bunga rekapitalisasi perbankan. Bukankah cukup aneh memberi subsidi pada satu sektor ekonomi yang notabene termasuk sektor kuat, ketika kepada sektor lain yang masih lemah seperti sektor ekonomi rakyat ada program besar untuk menghapus subsidi.

Berbagai ketidakadilan memang terungkap dalam sistem ekonomi kapitalis yang kita terapkan sejak era Orde Baru yang sifat pembangunannya lebih mementingkan efisiensi dan pertumbuhan ketimbang keadilan dan pemerataan. Dan akumulasi ketidakadilan itulah yang pada puncaknya telah meledakkan bom waktu “krisis moneter” Juli 1997 yang dampak ikutannya masih berlangsung sampai sekarang. Cara-cara pemecahan krismon melalui pengucuran BLBI (1998) dan rekapitalisasi perbankan (1999) ternyata semakin memperdalam ketimpangan dan ketidakadilan, karena, sekali lagi, telah dipakai asumsi dan teori yang keliru atau bias pada sistem ekonomi kapitalisme. Jelas di sini bahwa sumber pokok kekeliruan adalah pertama, pada tidak diakuinya sifat ekonomi kita yang masih dualistik yang menolak adanya  (sektor) ekonomi rakyat yang berperan besar dalam perekonomian Indonesia. Kedua, pemberian kebebasan yang terlalu besar pada mekanisme pasar yang berakibat terjadinya persaingan bebas liberal (free fight liberalism) yang selalu menguntungkan pihak yang kuat dan merugikan pihak yang lemah yaitu ekonomi rakyat.

 Demikian ketidakberpihakan pemerintah pada kepentingan ekonomi rakyat, dan sebaliknya keberpihakan pemerintah pada kepentingan ekonomi sektor kapitalis berakibat fatal pada semakin terjepitnya ekonomi rakyat, tidak saja petani yang harga gabahnya anjlog di bawah harga dasar, tetapi juga bagi industri kecil dan perdagangan kecil yang semuanya didominasi sektor ekonomi kapitalis. Inilah kecenderungan (trend) yang harus segera kita balikkan. Pemerintah harus berpihak dan peduli pada ekonomi rakyat dan selanjutnya memberdayakannya. Ekonomi rakyat tidak mengharapkan subsidi tetapi sekedar perlindungan yang wajar dari persaingan tidak sehat dari kelompok ekonomi kapitalis



V.      PUSTEP UGM mempunyai misi besar mengadakan kajian-kajian induktif-empirik dan deduktif logis tentang ekonomi Indonesia yang selanjutnya dapat dipakai sebagai bahan mengkaji ulang kurikulum ilmu ekonomi di perguruan-perguruan tinggi maupun di sekolah-sekolah lanjutan. Kajian-kajian induktif-empirik ini belum pernah dilakukan karena kita tidak pernah mempertanyakan validitas teori-teori ekonomi yang termuat dalam buku-buku teks ilmu ekonomi dari Barat. Krismon 1997-1998 harus dianggap mengandung hikmah keharusan para ekonom untuk mengadakan tinjauan-tinjauan kritis atas teori-teori ekonomi yang sudah mapan tersebut yang kini bertendensi sudah diterima dan diajarkan laksana ajaran agama.

Kita harus menolak seakan-akan Paul samuelson adalah benar-benar nabi yang menyebarkan fatwa-fatwa yang tidak bisa dibantah kebenarannya. Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu sudah cukup. Janganlah ilmu ekonomi dianggap agama ke-7 di Indonesia.



1 April 2003

*) Disampaikan pada Seminar Bulanan III PUSTEP-UGM, Yogyakarta 1 April 2003.



Daftar Pustaka

    Ekins, Paul & Manfred Max-Neef, 1992, Real Life Economics. Routledge London–New York.

    Keen, Steve., 2001, Debunking Economics. London-New York: Pluto Press-Zeed Books.

    Linder, Marc., 1977, Anti Samuelson. New York, Urizen Books.

    Nelson, Robert., 2001, Economics as Religion. University Park PA, The Pennsylvania State University Press.

    Ormerod, Paul., 1994, The Death of Economics. New York, Urizen Books.

0 komentar:

Posting Komentar