Cedera kepala merupakan trauma kulit kepala, tengkorak, otak. Cedera
kepala penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik, dan
merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan lalu lintas.
Resiko utama klien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak
akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera
yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Komosio serebral
setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologik sementara tanpa
kerusakan struktur. Komusio meliputi sebuah periode tidak sadarkan
diri dalam waktu yang berakhir selam beberapa detik sampai beberapa
menit. Kontusio serebral merupakan cedera kepala berat, dimana otak
mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Klien berada
pada periode tidak sadarkan diri. Biasanya timbul gejala khas yaitu :
denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat, sering
terjadi defekasi dan berkemih tanpa disadari. Hemoragi intraserebral
adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Terjadi dimana tekanan
mendesak ke kepala sampai daerah kecil.
ANATOMI FISIOLOGI
Otak merupakan bagian dari sistem saraf pusat dan terletak di dalam
rongga tengkorak dan merupakan massa paling besar pada jaringan saraf
dalam tubuh yang berisi milyaran sel-sel saraf. Susunan otak terdiri
dari tiga bagian, yaitu : otak depan, tengah dan belakang. Bagian otak
depan terdiri dari serebrum dan diencephalon, cerebrum merupakan
bagiantak terbesar dengan berat sekitar 75 % dari total berat otak. Di
dalam cerebrum terdapat pusat saraf yang mengatur seluruh aktifitas
sensorik dan motorik. Cerebrum terbagi menjadi dua belahan/hemisfer diri
dan kanan. Setiap hemisfer terdiri dari empat lobus yaitu; frontalis,
temporal, parietal dan occipital. Di samping keempat lobus,
kadang-kadang disebutkan dua lobus lainnya, yaitu insula (lobus sentral)
dan diencephalon yang berperan dalam penciuman, emosi, perilaku dan
respon seksual serta beberapa reflek viseral. Pada setiap hemisfer
cerebrum terdapat ganglia basalis berperan dalam mempengaruhi tonus dan
sikap tubuh dan menyatukan gerakan-gerakan otot-otot sadar utama.
Diencephalon terdiri dari thalamus dan hipotalamus. Thalamus terutama
berkenaan dengan penerimaan impuls sensorik yang dapat ditafsirkan pada
tingkat subkortikal atau disalurkan pada daerah sensorik kortek otak
dengan tujuan mengadakan kegiatan penting mengatur perasaan dan gerakan
pada pusat-pusat tertinggi. Hipothalamus terletak pada daerah dasar atau
lunas ventrikel ketiga. Nukleusnya mempunyai hubungan dengan lobus
posterior kelenjar hipofisis pada sistem endoktrin, di mana melakukan
pengendalian juga mengatur fungsi-fungsi pengaturan suhu tubuh, lapar
dan haus, keseimbangan cairan, tidur. Otak tengah (mesencephalon) dibagi
dalam dua tingkat yaitu : atap yang mengandung banyak pusat reflek yang
penting untuk penglihatan dan pendengaran dan jalur motorik kasar yang
turun dari kapsula intern melalui bagian dasar otak tengah, menurun
terus melalui pons dan medula oblongata menuju sumsum tulang belakang,
otak tengah mengandung pusat-pusat yang mengendalikan keseimbangan dan
gerakan-gerakan mata. Otak belakang dari cerebrum, pons dan medula
oblongata, cerebrum adalah bagian terbesar dari otak belakang. Fungsi
cerebrum mengatur sikap dan aktifitas sikap badan berperan penting dalam
koordinasi otot-otot dan menjaga keseimbangan. Medula oblongata berisi
beberapa pusat vital (pernafasan, heart rate, vomiting, cegukan).
ETIOLOGI
Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua
mekanisme dasar yaitu : 1. Cedera kontak bentuk Terjadi bila kepala
membentur atau menabrak suatu objek atau sebaliknya 2. Cedera guncangan
lanjut : cedera akselerasi Merupakan akibat peristiwa guncangan kepala
yang hebat baik yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena
pululan penyebab yang tersering dari cedera kepala adalah kecelakaan
lalu lintas. MANIFESTASI KLINIS • Gangguan kesadaran • Konfusi •
Abnormalitas pupil • Awitan tiba-tiba defisit neurologik • Perubahan
tanda-tanda vital • Gangguan penglihatan dan pendengaran • Disfungsi
sensori • Kejang otot • Sakit kepala • Vertigo • Gangguan pergerakan •
Kejang
PATOFISIOLOGI
Kepala dapat mengalami cedera akibat benturan langsung suatu benda
atau kepala yang membentur suatu benda yang keras. Pada tempat benturan
dapat terjadi indentasi, fraktur linier, fraktur stelatum (berbentuk
bintang), fraktur depresi, ataupun tidak terdapat apa-apa hanya udema
atau perdarahan subcutan saja. Akibat trauma ini pasien bisa pingsan
sejenak lalu sadar kembali dan tidak menunjukkan kelainan apapun,
pingsan beberapa jam kemudian menunjukkan gejala organik brain syndrom
untuk sementara waktu atau pingsan lama lalu sadar namun menujukkan
defisit neurologik, bahkan meninggal langsung waktu mendapat trauma atau
sedikit lama setelah kecelakaan. Pada kontusio cerebri terjadi suatu
akselerasi kepala yang seketika itu juga timbul pergeseran otak serta
pengembangan gaya kompresi yang bersifat destruktif.
Timbulnya lesi
kuntosio di daerah benturan menimbulkan gejala defisit neurologik yang
bisa berupa reflek Babinski positif dan kelumpuhan upper motor neuron.
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi
pada trauma kepala tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah
serebral terganggu, sehingga terdapat vasoparalisis. Tekanan darah
menjadi rendah dan nadi menjadi lambat atau
menjadi cepat dan lemah.
Juga karena pusat vegetatif ikut terlibat maka rasa mual dan muntah dan
gangguan pernafasan bisa timbul. Kematian penderita kontusio beberapa
hari setelah kecelakaan umumnya bukan disebabkan oleh beratnya lesi
kontusio tapi karena komplikasi kardiopulmonal. Sistem vaskuler bisa
terkena secara langsung karena perdarahan atau trauma langsung terhadap
jantung. Sebagai reaksi tubuh volume sirkulasi ditambah dengan cairan
yang berasal dari ekstraseluler. Keadaan ini bisa menjurus ke hemodilusi
jika penderita diberi cairan melalui infus tanpa darah atau plasma.
Komplikasi yang memperberat keadaan di atas disebabkan oleh
berkembangnya asidosis. Pasien kontusio pada hari pertama masih tidak
sadar,
pernafasannya terganggu, reflek batuk dan menelan belum pulih
juga. Karena itu mudah terjadi depresi pernafasan dengan bronkhopneumoni
aspirasi, sehingga PO2 arteri menurun dan PCO2 meningkat. Keadaan
demikian mengakibatkan takhikardi yang lebih memperburuk output jantung.
Karena asidosis rintangan darah ke otak mengalami kerusakan sehingga
timbulah udema serebri, yang lebih mengurangi aliran darah ke otak, yang
ditunjukkan dengan keadaan penderita yang koma dengan tanda-tanda shock
dan hiperpireksia. Pasien kontusio bisa memperlihatkan sindroma
metabolik lain sebagai ikut terkenanya hipothalamus. Bila terjadi
kontusio batang otak, menyebabkan pasien tidak responsif atau setengah
koma karena perobekan batang otak. Terdapat abnormalitas neurologis lain
yang biasanya simetris (pada kedua sisi tubuh). Beberapa diantaranya
mungkin mengalami lateralisasi (asimetris), menunjukkan perkembangan
dari dampak sekunder seperti hematom. Gejala tambahan terhadap penurunan
tingkat kesadaran yang selalu ada pada kontusio batang otak mungkin
terjadi abnormalitas pernafasan, pupil, gerakan mata dan motorik.
PENGKAJIAN
Pada pasien dengan kontusio riwayat keperawatan perlu untuk
menjelaskan permasalahan keperawatan. Jika pasien tidak sadar/koma maka
data-data yang diperlukan untuk mengetahui riwayat keperawatan yang
dapat diambil dari keluarga, teman atau orang-orang yang dekat dengan
pasien, terutama yang berada disekitar kejadian untuk mengetahui apa
penyebab terjadinya trauma kepala, bagaimana kecepatan proyektilnya.
Apakah terjadi pingsan/riwayat kehilangan kesadaran, apakah ada
perdarahan melalui mulut, hidung dan telinga. Riwayat lain yang perlu
dikaji yaitu riwayat medis dan pembedahan, penggunaan alkohol atau
obat-obatan. Dalam pemeriksaan fisik perlu dikaji tanda-tanda vital,
hasil pemeriksaan biasanya didapatkan suhu meningkat, bisa mencapai 40
derajat Celsius, nadi bradikardi, pada kedaan berat nadi takhikardi,
pernafasan tidak teratur bradipnea, pada keadaan berat cheyne stokes,
bila kontusio terjadi karena incisura tentorial maka pernafasan
mengorok. Pada tekanan darah terdapat peningkatan darah sistolik dengan
tekanan darah diastolik yang stabil/turun. Pada pemeriksaan kepala dan
leher, pemeriksaan seluruh kepala untuk mengetahui adanya fraktur
tengkorak, perdarahan lubang hidung, telinga dan mulut. Bila ada cairan
keluar berwarna putih menunjukkan adanya kebocoran pada cerebrospinal.
Periksa leher pasien dan tentukan apakah ada tanda-tanda fraktur di
daerah servical. Dian dan James mengatakan bahwa 20 % pasien trauma
kepala juga mengalami fraktur servikal. Hal ini penting diketahui karena
jika ada kecurigaan maka resusitasi (tindakan memperlancar pernafasan
pasien) hendaknya tanpa hiperekstensi leher atau rotasi, terutama pada
fraktur cervical tinggi dapat mengakibatkan kematian mendadak.
Pengkajian tingkat
kesadaran sangat penting pada pasien trauma kepala
terutama kontusio karena merupakan prediktor dan indikator prognosis
yang sensitif. Alat yang dipakai untuk menentukan atau mengukur tingkat
kesadaran yaitu : Skala Coma Glasgow. Skala koma glasgow menilai tiga
aspek perangai pasien dengan sisem skoring. Ketiga aspek itu ialah : 1.
Kemampuan membuka mata Pengkajian terhadap kemampuan membuka mata : E –
Membuka mata secara spontan 4 – Membuka mata jika diajak bicara 3 –
Membuka mata jika ada rangsang nyeri 2 – Tidak ada reaksi 1 2. Kemampuan
bicara Pengkajian terhadap kemampuan berkomunikasi pada rangsang verbal
:V – Menjawab pertanyaan dengan mantap dan berorientasi pada ruang,
waktu dan orang 5 – Jawaban yang lambat 4 – Jawaban yang kacau dan
membingungkan 3 – Bereaksi dengan menggumam dengan rangsangan suara
keras 2 – Tidak bereaksi 1 3. Aktifitas motorik Pengkajian terhadap
rengsangan motorik : M – Mengikuti perintah untuk merubah posisi 5 –
Menunjukkan lokasi rasa sakit atau dapat menggerakkan lengan kelokasi
rangsang nyeri sebagai usaha untuk menghilangkan rasa nyeri 4 – Fleksi
terhadap rangsangan rasa nyeri 3 – Ekstensi lengan terhadap rangsang
nyeri 2 – Tidak ada respon motorik walaupun diberi rangsang nyeri 1
Nilai tertinggi E / V / M / = 15 dan terendah = 3. Pasien dengan nilai
kesadaran EVM = 7 adalah koma, bila nilai EVM = 8 maka 53 % sudah
menjadi koma, sedang nilai EVM = 9 ke atas tidak terhitung koma.
Pemeriksaan neurologis lokal : perubahan visual (pandangan kabur,
double, photofobia). Kelemahan otot atau paralise, penurunan respon
terhadap rangsang sakit tanda babinski positif, keadaan dekortikasi
(respon fleksor lengan dan ekstensi pada tungkai), deserbrasi (ekstensor
respon pada lengan dan tungkai), kehilangan perasaan pengunyahan dan
bau, amnesia, retrograde, aphasia, dysphasia. Pengkajian psikososial
meliputi tingkat pendidikan, respon emosional pasien dan keluarga,
dukungan keluarga, usia, kepribadian, kecemasan, iritabilitas, agitasi,
kebingungan, depresi, impulsif. Pada pasien koma kecemasan keluarga
lebih tinggi sehingga perlu dikaji reaksi keluarga terhadap trauma yang
dialami pasien, strategi koping yang digunakan , pengetahuan, pengertian
keadaan, pengobatan, prognosis, hasil yang diperoleh, kesiapan, dan
kemampuan untuk mengerti. Pemeriksaan yang menunjang pada pasien
kontusio yaitu pemeriksaan foto rontgen tengkorak. CT Scan biasanya
memperlihatkan lesi-lesi kontusio. Pada pemeriksaan MRI dapat
diidentifikasi lapisan kontusio, perdarahan, gambaran ventrikel,
jaringan otak. EEG dilakukan bila tengkorak dalam keadaan utuh untuk
mengetahui adanya gangguan fungsi otak fokal atau global. Pada cerebral
angiografi dapat dilihat ketidaknormalan sirkulasi seperti
perubahan-perubahan jaringan otak akibat udema. Pemeriksaan yang penting
yaitu pemeriksaan gas darah dan elektrolit, hemoglobin dan hematokrit,
gula darah, natrium, urine.
EVALUASI DIAGNOSTIK
Pemeriksaan neurogik dan fisik awal memberi data dasar yang akan
digunakan untuk perbandingan pemeriksaan berikut. Pemeriksaan CT Scan
adalah alat diagnostik pencitraan neuro primer, bermanfaat dalam
evaluasi terhadap cedera jaringan lunak.
PENATALAKSANAAN
1. Breathing Pada pasien dengan trauma kepala perlu dilakukan usaha
pembebasan jalan nafas dan menjamin ventilasi yuang baik di paru-paru
dengan membaringkan pasien pada posisi miring untuk menghindari aspirasi
akibat muntah. Selain itu juga perlu tindakan penghisapan lendir,
muntah atau darah dari jalan nafas. Pemberian oksigen sebagai terapi
perlu dievaluasi dengan pemeriksaan analisa gas darah dan diusahakan P
O2 > 80 mmHg, P CO2 tidak lebih dari 30 mmHg, dengan tujuan untuk
mencegah vasokonstriksi pembuluh darah otak. Pemasangan pipa
endotrakheal dapat juga dilakukan. Tracheostomi terutama bila terjadi
perdarahan pada jalan nafas bagian atas, fraktur tulang muka atau trauma
toraks. 2. Blood Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan
laboratorium darah (Hb,Leukosit). Pada kontusio cerebri 3-5 hari pertama
terjadi ketidakseimbangan air dan natrium, di mana retensi air melebihi
natrium, sehingga terjadi hiponatremi relatif. Karena itu kemungkinan
over dehidrasi, dehidrasi, intoksikasi air perlu dipertimbangkan. 3.
Brain Penilaian GCS, dan bila menunjukan adanya perburukan perlu
pemeriksaan mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran, bentuk, dan reaksi
terhadap cahaya) serta gerakan- gerakan bola mata. Udema cerebri dapat
dicegah dengan membebaskan jalan nafas, pembatasan jalan nafas,
hipotermia, pemberian obat anti udema. Obat-obat anti udema biasanya :
manitol, diberikan melalui infus, gliserol diberikan per infus/oral,
kadang-kadang dapat menimbulkan hemolisis intravaskuler bila diberikan
melebihi 30 tetes/menit. Kortikosteroid, preparat yang umum dipakai
adalah Dexametason dan Metil Prednisolon. 4. Bladder Kandung kemih
perlu selalu dikosongkan karena kandung kemih yang penuh merupakan suatu
rangsangan untuk mengeden sehingga tekanan intrakranial cenderung lebih
meningkat. 5. Bowel Usus yang penuh cenderung akan meningkatkan tekanan
intrakranial. Makanan diberikan sesudah 48 jam, kalau pasien belum
sadar beri makanan melalui sonde. Jumlah makanan disesuaikan dengan
cairan, elektrolit dan kalori yang dibutuhkan
REFERENSI
Brunner dan Suddart. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Vol.1-3.
Jakarta: EGC Corwin, Elizabeth. 2003. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:
EGC Jones, D. 1982. Medical-Surgical Nursing; A Conceptual Approach. US:
McGraw Hill Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi ; Konsep Klinis dan
Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC Schrock, Theodore R. 1995. Ilmu
Bedah. Jakarta: EGC Sjamsuhidayat, R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
2. Jakarta: EGC Smeltzer. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah; Vol
1-3. Jakarta: EGC
0 komentar:
Posting Komentar